Kajian Pengesahan Undang-undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ)
UU DKJ : Istimewa untuk Jakarta atau Istimewa untuk Penguasa?
Oleh Davina Putri Felisha, Asadel Nandana Arkananta, Novian Lie, Galih Rifki Wiratama, dan Alya Puti Aurumi
Kolaborasi bersama LK2 FH UI
Abstrak
Dalam UU No. 2 Tahun 2024 yang telah disahkan ada beberapa poin yang dapat dikaji. Dari pasal-pasal tersebut timbul pertanyaan-pertanyaan. Untuk memastikan dampak peresmian UU ini adalah positif, pertanyaan-pertanyaan ini harus dapat terjawab agar membawa kepastian. Pertanyaannya adalah seperti mengenai pasal yang terindikasi menimbulkan tumpang tindih kewenangan, sejauh mana efektivitas dalam pasal yang tertera dengan adanya indikasi tumpang tindih kewenangan, dan bagaimana penjelasan definitif mengenai kewenangan yang dimiliki badan negara. Dengan demikian, diharapkan penerapan UU DKJ di masa depan dapat menjawab pertanyaan sekaligus meminimalisir konflik yang terjadi di masyarakat.
Kata Kunci: Pengesahan, UU DKJ, Kewenangan
Pendahuluan
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2024, terdapat beberapa pasal yang menjadi pusat perhatian. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 adalah undang-undang (UU) mengenai peresmian Jakarta sebagai Daerah Khusus Jakarta (DKJ) dimana sistem pemerintahannya juga diatur. Sejak diusulkan dalam bentuk RUU, undang-undang ini telah menimbulkan problematika karena pada awalnya, jabatan gubernur dan wakil gubernur akan langsung diangkat oleh Presiden.[1] Namun setelah diresmikan, pasal tersebut telah diubah dengan ketentuan bahwa gubernur dan wakil gubernur tetap dipilih melalui pilkada.[2]
Walaupun telah resmi menjadi UU, peraturan ini tetap menimbulkan pertanyaan terkait substansinya akibat dibentuknya Dewan Aglomerasi yang ditunjuk oleh presiden seperti pada Pasal 55 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 2 Tahun 2024.[3] Hal tersebut memicu pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap kondisi yang sebenarnya terjadi. Perlukah pasal-pasal yang ada di dalam UU DKJ diterapkan semua? Apakah ada pertentangan antara kebutuhan dan kepentingan yang mengharuskan kita untuk memilih salah satunya karena alasan tertentu? Pertanyaan tersebut kemudian menjadi lebih spesifik kepada pasalnya, seperti apakah wewenang gubernur dan wakil gubernur yang dipilih secara langsung melalui pilkada tetap utuh atau justru wewenangnya sudah dipindahkan kepada Dewan Aglomerasi yang dipilih oleh presiden? Selain itu, bagaimana dan berapa besar campur tangan Dewan Aglomerasi terhadap kewenangan gubernur dan wakil gubernur dan bukankah hal tersebut berpotensi terjadinya ketidakserasian dalam pembagian tugas atau terdapat wewenang yang tumpang tindih. Apakah sebetulnya perubahan pasal ini hanya “mempercantik” cara pelanggengan kekuasaan presiden dalam lingkup daerah se-krusial Jakarta?
Pasal 56 mengenai rencana pembangunan kawasan aglomerasi sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) juga menimbulkan pertanyaan, yakni dari mana asal anggarannya, mengingat dana PSN tentunya akan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).[4] Selain itu, mengingat juga saat ini kondisi APBN negara kita sudah semakin membengkak. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi kesejahteraan negara apabila terus menerus dibiarkan. Harus ada solusi konkret terkait sumber dana selain dari APBN apabila PSN ingin terus berlangsung.
Melihat Pasal 57 ayat (1) – (4), terdapat kejanggalan dalam pembentukan Badan Layanan Bersama (BLB) oleh pemda dan Dewan Aglomerasi bahwa konsep struktur pembentukan layanan bersama ini menyerupai konsep Perseroan Terbatas (PT). Dikatakan demikian karena dapat mempunyai kekayaan sendiri, mengelola anggaran sendiri, mengelola pegawai sendiri, dan melakukan kerjasama dengan pihak lain.[5] Apa urgensi kebutuhan dari pembentukan badan layanan bersama ini? Apa perbedaan nya dengan konsep (Badan Usaha Milik Daerah) BUMD yang telah ada jauh sebelum UU DKJ dibentuk? Selain itu, kemiripan antara BLB dan PT juga dipertegas pada Pasal 58 ayat (1) – (5), yakni pembentukan Badan Layanan Bersama didasarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masing-masing daerah pembentuk atau pengusung, serta proporsi pemilihan ketua dan wakil ketua badan layanan bersama didasari pada proporsi modal dan/atau saham masing-masing daerah.[6]
Terdapat juga ketidakpastian mengenai batasan tentang jenis investasi yang diperbolehkan sehingga berpotensi menimbulkan risiko spekulasi berlebihan terhadap pengelolaan aset yang dimaksud pada Pasal 47 ayat (2).[7] Selain itu, pembentukan lembaga manajemen aset oleh Pemprov DKJ merupakan suatu ketidaksesuaian terhadap prinsip otonomi daerah karena dapat dianggap sebagai bentuk sentralisasi terhadap kekuasaan eksekutif. Potensi tumpang tindih kewenangan juga dapat terjadi antara lembaga manajemen aset baru dengan instansi pemerintah yang sudah ada sehingga dapat menimbulkan konflik dan kebingungan. Sementara itu, dengan dibentuknya suatu lembaga baru, bukankah juga membutuhkan dana untuk segala kebutuhan (keberlangsungan) lembaga itu sendiri kedepannya?
Kebingungan juga muncul terkait Pasal 23 yang menjelaskan tentang penanaman modal dalam negeri dan asing.[8] Apakah pelaksanaan dan penyelenggaraan penanaman modal oleh pemerintahan daerah yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintahan pusat telah sesuai dengan apa yang dicantumkan pada UU No. 25 tahun 2007 Pasal 30 ayat (3), yakni kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal?[9]
Isi
Rancangan Undang-Undang (RUU) DKJ pada awalnya menimbulkan polemik disebabkan isi dari Pasal 10 yang membahas tentang proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang dipilih secara langsung oleh Presiden.[10] Setelah RUU DKJ direvisi dan diresmikan menjadi UU DKJ, Pasal 10 tersebut telah dihilangkan sehingga Gubernur dan Wakil Gubernur tidak lagi dipilih secara langsung oleh Presiden dan akhirnya tidak lagi menjadi polemik di masyarakat.[11] Meskipun demikian, apakah permasalahan mengenai UU DKJ sudah selesai? Tentunya belum. Masih terdapat polemik yang ditimbulkan oleh pasal lain. Salah satunya mengenai Pasal 55 yang membahas tentang Dewan Aglomerasi yang ditugaskan dan dipilih langsung anggota kepengurusannya oleh presiden.[12] Hal ini memungkinkan terjadinya masalah baru apabila nantinya terdapat tupoksi yang dialihkan kepada Dewan Aglomerasi, seperti jika semula terdapat suatu wewenang yang dimiliki oleh Gubernur namun setelah adanya Dewan Aglomerasi, kewenangannya berpindah tangan.
Tupoksi Dewan Aglomerasi yang tertulis pada Pasal 55 ayat (2) dalam UU DKJ adalah mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang kawasan strategis nasional pada Kawasan Aglomerasi dan dokumen rencana induk pembangunan Kawasan Aglomerasi, serta mengkoordinasikan, monitoring, dan mengevaluasi pelaksanaan program dan kegiatan dalam rencana induk oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (Pemda).[13] Dengan demikian, tupoksi dari Dewan Aglomerasi seharusnya hanyalah mengkoordinasi. Jika hal tersebut benar, maka seharusnya tidak menjadi masalah. Namun, dalam Pasal 55 ayat (4) tersebut dituliskan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Kawasan Aglomerasi dan tata penunjukannya diatur dengan Peraturan Presiden.”[14] Maka dari itu, dapat kita simpulkan bahwa ketentuannya masih bergantung pada Peraturan Presiden (Perpres) yang dikeluarkan secara resmi, tetapi problema tetap dapat timbul apabila aturan dalam Perpres ternyata problematik.
Jauh sebelum UU DKJ diresmikan, Jakarta sudah menjalin kerja sama dengan kota/kabupaten di kawasan Jabodetabek melalui Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP), hal ini dilakukan demi menyelesaikan lima masalah utama lintas wilayah, yaitu banjir, kemacetan, penyediaan air bersih, ketahanan pangan, dan pengelolaan sampah. Akan tetapi, sistem kerjasama antar daerah yang dilakukan melalui BKSP tidak berjalan efektif dan dinilai gagal karena BKSP hanya dapat melakukan fasilitasi dan koordinasi kerja sama pembangunan antardaerah di Jabodetabek, tetapi tidak dapat melakukan eksekusi pembangunan. Jika melihat pada Pasal 55 ayat (2) UU DKJ dan keterangan yang dituangkan dalam naskah akademik (NA) terdapat disharmonisasi.[15] Hal ini dikarenakan pada NA, BKSP dianggap gagal menjalankan tugas disebabkan oleh ketiadaan otoritas dari BKSP untuk melaksanakan eksekusi program pembangunan, sedangkan Dewan Aglomerasi juga tidak memiliki otoritas untuk mengeksekusi. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran apakah Dewan Aglomerasi akan bernasib sama seperti BKSP? Dikarenakan dalam NA dinyatakan bahwa “diperlukan suatu model kelembagaan di Jabodetabekjur yang lebih efektif dan memiliki otoritas yang kuat, yang dapat mengeksekusi kebutuhan pembangunan lintas wilayah”. Dengan Dewan Aglomerasi yang tidak mempunyai otoritas untuk mengeksekusi, maka apa yang diharapkan dalam NA tersebut tidak dapat terealisasikan. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa Dewan Aglomerasi tidak dapat menjadi solusi atas permasalahan dari kegagalan BKSP.
Isu juga muncul mengenai sumber anggaran untuk PSN yang akan diterapkan pada kawasan aglomerasi. Dikarenakan pembangunan kawasan aglomerasi dikategorikan sebagai PSN yang mana anggaran PSN datang dari APBN, hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai sumber dana tambahan untuk proyek pembangunan ini bila saat ini APBN sudah membengkak. Apakah kita akan bergantung pada utang kembali? Jumlah APBN 2024 sebesar Rp3.325,1 triliun, naik dari Rp3.061,2 triliun. Beberapa tahun terakhir, APBN juga mengalami defisit karena menanggulangi kebutuhan masyarakat seperti BBM yang harga dunianya semakin naik. Sehingga kembali ke topik awal, jika ingin melakukan pembangunan pada kawasan aglomerasi melalui APBN, dari mana sumber keuangannya?[16]
Sejauh ini pemasukan negara didominasi oleh pajak, sehingga dengan rencana pembangunan kawasan aglomerasi, ada kemungkinan pajak akan dinaikkan kembali. Belakangan ini, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diperkirakan akan naik pada tahun 2025 menjadi 12%.[17] Pemerintah juga berencana menaikkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 2% per tahun dalam 5 tahun kedepan. Saat ini, rasio sudah ada sekitar 39%, sehingga diproyeksikan 5 tahun lagi akan naik menjadi sekitar 50%.[18] Berdasarkan UU No.17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, batas maksimal rasio utang terhadap PDB adalah sebesar 60%.[19]
Kedua hal ini dapat menjadi jalan untuk menaikkan APBN, tetapi jalan tersebut dapat menjadi sebuah masalah karena dampak yang dihasilkan oleh kebijakan-kebijakan ini berdampak pada seluruh rakyat Indonesia. PPN dibayar oleh seluruh rakyat Indonesia, utang negara juga secara tidak langsung ditanggung seluruh rakyat Indonesia, dan pada akhirnya utang dibayar melalui pajak negara. Berdasarkan dampak yang diperkirakan, apakah hasil dan manfaat dari proyek di kawasan aglomerasi juga akan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia? Atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan proyek dari kawasan aglomerasi itu sendiri?
Merujuk pada Pasal 57 ayat (1) – (4), Pemda wilayah aglomerasi dapat membentuk BLB. Namun, bentuk dari BLB ini cukup aneh karena dianggap menyerupai bentuk dari PT.[20] BLB dapat mempunyai kekayaan sendiri, mengelola anggaran sendiri, mengelola pegawai sendiri, dan melakukan kerja sama dengan pihak lain. Dalam Pasal 58 juga dijelaskan bahwa dalam pemilihan kepala badan dan wakil kepala badan BLB ditentukan melalui perolehan suara daerah yang bergantung pada besaran modal atau kepemilikan saham dari masing-masing daerah.[21] Berdasarkan pasal tersebut, timbul kontroversi mengenai pemilihan umum konvensional dalam rangka menerapkan hak memilih warga masyarakat sebagai bentuk paling konkret dari negara Indonesia yang demokrasinya sangat kental dan bahkan terwujud dalam konstitusi. Maka dari itu, apa urgensi dan alasan atas pemilihan kepala dan wakil kepala badan berdasarkan proporsi modal saham, dengan sepengetahuan akan mencederai demokrasi negara? Skema proporsi modal usaha ini, secara otomatis mengurangi decision making power daerah-daerah yang berdasarkan proporsi modal dan/ atau saham masing-masing daerah, serupa dengan Perseroan Terbatas, yakni semakin besar suatu entitas memegang persentase saham Perseroan, semakin besar pula decision making power yang dimilikinya, begitu pula sebaliknya. Dari situ juga, timbul pertanyaan terkait perbedaannya dengan BUMD yang sudah ada sejak lama.
Pertama-tama kita harus tahu terlebih dahulu tujuan dibentuknya BUMD dan tujuan dibentuknya BLB. Berdasarkan UU No. 23 tahun 2014, BUMD dibentuk untuk memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian daerah pada umumnya, menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik dan potensi daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola perusahaan yang baik, dan memperoleh laba dan/atau keuntungan.[22] Sedangkan BLB berdasarkan UU DKJ dibentuk untuk penyediaan layanan lintas daerah dan/atau berdampak lintas daerah.[23] Maka dari itu, kita dapat mengetahui perbedaannya, yaitu BUMD mencakup urusan kepentingan daerah, sedangkan BLB untuk kepentingan antardaerah yang terlingkup dalam daerah aglomerasi. Walaupun memiliki karakteristik yang serupa, tujuan awalnya tetap berbeda. Kemiripan dan perbedaan konsep Badan Layanan Bersama dan BUMD juga menimbulkan pertanyaan, sebagai badan usaha, apakah Badan Layanan Bersama ini harus tunduk ke Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas layaknya sebuah PT, ataukah Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah layaknya BUMD?[24]
Selanjutnya, kita perlu melihat proses pembentukan BLB yang dari awal sudah membingungkan, mulai dari wewenang yang berlaku hingga cara pemilihannya. BUMD sendiri sudah ada sejak lama dan diatur dalam Perda, sedangkan BLB baru saja dibentuk sehingga perlu dipastikan kembali terkait efektivitas kerjanya. Pemilihan ketua BLB yang dipilih secara langsung oleh presiden juga membingungkan karena bukankah sebaiknya para dewan dipilih oleh rakyatnya yang berada di daerah masing-masing? Apakah presiden akan secara langsung terlibat dengan wewenang Dewan Aglomerasi? Selain itu, terdapat kejanggalan dari pernyataan Anggota Komisi III DPR yang menyampaikan bahwa menyatukan berbagai wilayah dengan sejarah, budaya, dan kehidupan yang berbeda tentu bukan tanpa tantangan, sehingga UU DKJ dianggap mampu memberikan kerangka kerja yang tepat untuk mengatasi tantangan tersebut dan membuka peluang baru.[25] Pernyataan beliau dapat dikritisi dengan pernyataan bahwa tantangan mempersatukan wilayah dengan latar belakang yang beda dapat menjadi “PR” bagi pemerintah kedepannya. Demikian juga mengingat efektivitas kerja dan anggaran negara yang membengkak untuk membangun infrastruktur negara.
Selain itu, UU DKJ juga didukung dengan pernyataan bahwa Jakarta memiliki potensi yang luar biasa untuk menjadi kota global. Namun, melihat dari sisi lain, Bodetabekjur juga memiliki problematika masing-masing yang membutuhkan perhatian dari pemerintah. Oleh sebab itu, daripada fokus untuk menyatukan banyak daerah, bukankah sebaiknya membangun masing-masing daerah itu sendiri agar lebih maju dan memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi negara.
Kesimpulan
Pengesahan UU DKJ masih menyisakan berbagai pertanyaan dan polemik, terutama mengenai pembagian kewenangan antara gubernur dan Dewan Aglomerasi yang dipilih oleh presiden. Beberapa pasal dalam undang-undang ini menimbulkan potensi tumpang tindih kewenangan, yang dapat mengakibatkan ketidakharmonisan dalam pembagian tugas. Kekhawatiran juga timbul karena kewenangan-kewenangan gubernur yang menjadi bagian dari otonomi daerah dapat dialihkan kepada Dewan Aglomerasi dan menimbulkan sentralisasi kekuasaan. Selain itu, penetapan Dewan Aglomerasi melalui Perpres menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat terhadap tupoksi dari Dewan Aglomerasi, terutama jika aturan dalam Perpres tersebut menimbulkan tumpang tindih kewenangan bagi tugas-tugas kepala daerah yang nantinya secara perlahan akan menghilangkan hak otonomi dari masing-masing daerah yang tergabung kedalam kawasan aglomerasi.
Isu sumber anggaran untuk PSN yang akan diterapkan di daerah aglomerasi juga menjadi perhatian, mengingat defisit APBN yang terus membengkak dan defisit, serta jika terjadi peningkatan PPN dan PDB untuk menaikan APBN yang membengkak akan berdampak tidak adil bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, mengingat manfaat dari proyeksi aglomerasi mungkin tidak dirasakan secara merata. Selain itu, pembentukan BLB yang mirip dengan PT menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi dan perbedaannya dengan BUMD yang sudah ada. Isu penanaman modal dalam negeri dan asing juga menimbulkan kebingungan terkait pelaksanaannya sesuai dengan UU No. 25 Tahun 2007.[26] Semua ini menunjukkan bahwa meskipun UU DKJ telah disahkan, masih banyak aspek yang perlu dikaji lebih lanjut untuk memastikan penerapannya tidak menimbulkan konflik dan memberikan manfaat yang merata bagi seluruh masyarakat.
Sumber Referensi
BBC NEWS Indonesia. “RUU DKJ: Presiden akan pilih langsung gubernur Jakarta, pengamat wanti-wanti potensi pilkada dihapus.” BBC Indonesia. 8 Desember 2023. Dapat diakses pada https://www.bbc.com/indonesia/articles/c51envv050eo . Diakses pada tanggal 1 Juli 2024.
Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia Tahun Anggaran 2024.” Anggaran Kemenkeu. Dapat diakses pada https://anggaran.kemenkeu.go.id/api/Medias/454fb34d-dd52-4edf-a6cc-e443f06fe44f . Diakses pada tanggal 1 Juli 2024.
Nugroho, Rosseno Aji. “PPN Naik Jadi 12% di 2025, Begini Pengertian dan Hitungannya.” CNBC Indonesia.18 Maret 2024. Dapat diakses pada https://www.cnbcindonesia.com/news/20240318063000-4-522722/ppn-naik-jadi-12-di-2025-begini-pengertian-dan-hitungannyaf . Diakses pada tanggal 1 Juli 2024.
Kontan. “Rasio Utang Indonesia Diprediksi Meningkat Jadi 40% di 2025, Begini Kata Kemenkeu.” Kontan.co.id. 24 April 2024. Dapat diakses pada https://nasional.kontan.co.id/news/rasio-utang-indonesia-diprediksi-meningkat-jadi-40-di-2025-begini-kata-kemenkeu. Diakses pada tanggal 10 Juli 2024.
Indonesia. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4286.
Indonesia. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.
Indonesia. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4756.
Rizki, Mochamad Januar. “Melihat Rencana Tata Kelola Jakarta dalam UU DKJ.” hukumonline.com. 23 April 2024. Dapat diakses pada https://www.hukumonline.com/berita/a/melihat-rencana-tata-kelola-jakarta-dalam- uu-dkj-lt662737e07b72f/?page=all. Diakses pada tanggal 29 Juni 2024.
Indonesia. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4724.
[1] “RUU DKJ: Presiden akan pilih langsung gubernur Jakarta, pengamat wanti-wanti potensi pilkada dihapus,” BBC Indonesia, diakses 1 Juli 2024, https://www.bbc.com/indonesia/articles/c51envv050eo.
[2] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[3] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 55 ayat (1), (2), dan (3). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[4] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 56. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[5] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 57 ayat (1), (2), (3) dan (4). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[6] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 58 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[7] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 47 ayat (2). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[8] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 23. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[9] Indonesia. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pasal 30 ayat (3). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4724.
[10] “RUU DKJ: Presiden akan pilih langsung gubernur Jakarta, pengamat wanti-wanti potensi pilkada dihapus,” BBC Indonesia, diakses 1 Juli 2024, https://www.bbc.com/indonesia/articles/c51envv050eo.
[11] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[12] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 55. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[13] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 55 ayat (2). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[14] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 55 ayat (4). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[15] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 55 ayat (2). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[16] “Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia Tahun Anggaran 2024,” Anggaran Kemenkeu, diakses 1 Juli 2024, https://anggaran.kemenkeu.go.id/api/Medias/454fb34d-dd52-4edf-a6cc-e443f06fe44f.
[17] Rosseno Aji Nugroho, “PPN Naik Jadi 12% di 2025, Begini Pengertian dan Hitungannya,” CNBC Indonesia, diakses 1 Juli 2024, https://www.cnbcindonesia.com/news/20240318063000-4-522722/ppn-naik-jadi-12-di-2025-begini-pengertian-dan-hitungannya.
[18] Kontan. “Rasio Utang Indonesia Diprediksi Meningkat Jadi 40% di 2025, Begini Kata Kemenkeu.” Kontan.co.id. Diakses pada 10 Juli 2024, https://nasional.kontan.co.id/news/rasio-utang-indonesia-diprediksi-meningkat-jadi-40-di-2025-begini-kata-kemenkeu.
[19] Indonesia. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4286.
[20] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 57 ayat (1), (2), (3) dan (4). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[21] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Pasal 58. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[22] Indonesia. Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.
[23] Indonesia. Undang-Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 6913.
[24] Indonesia. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4756.
[25] Mochamad Januar Rizki, “Melihat Rencana Tata Kelola Jakarta dalam UU DKJ,” 23 April 2024, diakses pada tanggal 29 Juni 2024,
https://www.hukumonline.com/berita/a/melihat-rencana-tata-kelola-jakarta-dalam-uu-dkj-lt662737e07b72f/?page=all.
[26] Indonesia. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4724.