RUU PENYIARAN: BELENGGU TERHADAP KEBEBASAN PERS

  Kondisi kebebasan pers di Indonesia saat ini  dapat dikatakan sedang tidak baik-baik saja karena adanya rencana pengesahan Undang-Undang tentang Penyiaran. Beberapa pasal dalam rancangan undang-undang tersebut mengancam kebebasan pers karena memberikan wewenang berlebih kepada pemerintah untuk mengontrol konten media dan kebebasan berpendapat. Masyarakat terutama jurnalis dan organisasi media menyuarakan kekhawatiran bahwa regulasi ini dapat digunakan untuk membungkam kritik. Lantas, apakah upaya pembungkaman terhadap kebebasan pers merupakan suatu hal yang baru terjadi di masa kini?

  Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, kebebasan pers mengalami fluktuasi. Pada awal kemerdekaan, pers dapat menikmati kebebasan penuh tanpa intervensi pemerintah, karena saat itu fungsi pers sebagai media  sosial bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air.[1] Pada awal pemerintahan Presiden Soekarno, pemerintah menjanjikan kebebasan kepada pers. Namun, hal tersebut memudar ketika Soekarno memusatkan kekuasaan dan mengubah sistem politik menjadi demokrasi terpimpin.[2] Pembatasan terhadap pers semakin memburuk di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, yang menggunakan kebijakan-kebijakan represif terhadap pers untuk menutupi korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pemerintahannya dan memberikan ilusi bahwa pemerintahan dijalankan dengan baik. Banyak kantor pers dibredel, termasuk surat kabar Tempo yang ditutup oleh Departemen Penerangan dengan alasan melanggar kode etik pers.[3]

  Setelah runtuhnya pemerintahan Soeharto pada tahun 1998, pers dapat sedikit bernafas lega karena pada tahun berikutnya pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers (UU 40/1999) yang memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap kebebasan pers. UU 40/1999 menggantikan undang-undang sebelumnya yang cenderung lebih membatasi kebebasan pers dengan aturan-aturan yang dimuatnya. Berdasarkan Pasal 4 UU 40/1999, negara menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara. Dijelaskan lebih lanjut dalam bagian penjelasan Pasal 4 UU 40/1999, bahwa kemerdekaan yang dimaksud adalah pers bebas dari pembatasan untuk melakukan publikasi tanpa khawatir akan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi menjadi terpenuhi. 

  Pada tahun 2024 ini, muncul Draft rancangan undang-undang (Draft RUU) penyiaran terbaru tentang perubahan atas Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran tanggal 27 Maret 2024. Draft RUU tersebut muncul bersamaan dengan pro-kontra di masyarakat yang mempersoalkan beberapa pasal yang kontroversial. Kekhawatiran tersebut timbul karena dalam Draft RUU tersebut mengandung beberapa pasal-pasal yang bertentangan dengan UU Pers dan terdapat pula pasal yang berpotensi menjadi “pasal karet” mengenai penerapan dan penyiaran jurnalisme[a].

Jurnalistik Sebagai Bentuk Dari Kebebasan Berpendapat 

  Adanya Draft RUU Penyiaran, tentunya akan berdampak terhadap kinerja jurnalistik. Jurnalistik merupakan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang aktual dan faktual dalam waktu yang secepat-cepatnya (A.W. Widjaya).[4] Dengan adanya pasal-pasal kontroversial dalam RUU Penyiaran, para jurnalis dan Dewan Pers menganggap bahwa hal tersebut berpotensi mengganggu jalannya jurnalistik dan mengintervensi kebebasan pers dalam menyebarkan informasi serta berita kepada publik.

  John C. Nerone, mendefinisikan kebebasan pers sebagai kebebasan berkomunikasi dan berekspresi melalui media termasuk berbagai media elektronik dan cetak.[5] Kebebasan pers merupakan salah satu hal yang dilindungi. Dalam hukum internasional, kebebasan pers dijamin oleh Piagam HAM PBB yang menyatakan bahwa:

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.” 

Dalam hukum nasional, kebebasan pers juga dijamin melalui konstitusi, yakni melalui Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) yang berbunyi 

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”[6]

 Lebih khusus, Pasal 4 ayat (1) hingga ayat (4) UU 40/1999 tentang pers menyatakan bahwa: 

“ (1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. 

 (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 

(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 

(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.”

Kebebasan pers tidak hanya dilindungi oleh hukum nasional, melainkan juga dilindungi oleh hukum internasional. Dengan diaturnya kebebasan pers dalam berbagai tingkat peraturan maupun skala pengaturannya, maka dapat disimpulkan kebebasan pers merupakan sebuah isu yang sangat penting baik pada lingkup nasional maupun internasional. Oleh karena itu, pembuat undang-undang perlu untuk hati-hati dalam membuat peraturan mengenai pers tersebut karena pers merupakan salah satu instrumen penting yang perlu ada dalam sebuah negara demokrasi sebagai alat kontrol sosial.[7]

  Tidak seperti undang-undang yang telah ada terlebih dahulu, kemunculan Draft RUU Penyiaran menyebabkan beberapa kemungkinan adanya pembatasan konten siaran yang justru membatasi kebebasan pers. Seperti dengan adanya pasal-pasal kontroversial yang memuat  Standar Isi Siaran (SIS) yang membatasi konten siaran dan upaya untuk melibatkan KPI dalam hal adanya sengketa jurnalistik yang merupakan ketentuan yang dipermasalahkan oleh Dewan Pers. Hal ini akan menjadi masalah nantinya jika nanti RUU tersebut telah disahkan menjadi undang-undang.

Pasal-pasal kontroversial dalam RUU Penyiaran

  Dalam Rancangan Undang-Undang baru ini terdapat beberapa pasal bermasalah yang dapat mengganggu kinerja jurnalisme sebagai perangkat kontrol sosial terhadap pemerintahan yang baik, sebagai berikut:

     1. Pasal 50B Ayat (2) huruf c 

  Dalam Pasal 50B ayat (2) huruf c dirumuskan bahwa penayangan eksklusif jurnalistik investigasi merupakan salah satu muatan yang dilarang dalam pengajuan SIS. Pengertian terkait SIS dijelaskan dalam bagian penjelasan Pasal 1 angka 24 UU 40/1999 tentang pers yang merumuskan bahwa:

“Standar Isi Siaran yang selanjutnya disingkat SIS adalah standar atas Isi Siaran dan Konten Siaran yang berisi tentang batasan, larangan, kewajiban, dan pengaturan Penyiaran, serta sanksi berdasarkan P3 yang ditetapkan oleh KPI.”. 

Dilarangnya penayangan eksklusif jurnalistik investigasi dalam Pasal 50B ayat (2) huruf c bertentangan dengan UU 40/1999 yang menjamin kemerdekaan pers.

  Pasal 50B ayat (2) huruf c melarang penayangan konten jurnalisme investigasi, yang secara implisit mengurangi ruang lingkup kerja jurnalistik. Hal ini bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU 40/1999 yang secara tegas menjamin kemerdekaan pers, termasuk kebebasan untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Prinsip lex specialis derogat legi generali menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Dalam konteks ini, jika Pasal 50B ayat (2) huruf c disahkan dan dianggap sebagai aturan khusus yang mengatur penayangan konten, maka seharusnya peraturan tersebut mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum. 

  Melarang konten jurnalisme investigasi tidak hanya melanggar kebebasan pers tetapi juga merampas hak warga negara untuk mendapatkan informasi yang akurat dan mendalam. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, larangan terhadap jurnalisme investigasi berarti menghalangi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang dapat membuka fakta-fakta penting, seperti dugaan korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan berbagai isu krusial lainnya.[8] Pasal 50B ayat (2) huruf c yang melarang penayangan konten jurnalisme investigasi jelas bertentangan dengan UU 40/1999 tentang Pers dan secara implisit bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Dengan adanya larangan tersebut, bukan hanya kebebasan pers yang tercederai, tetapi juga hak warga negara untuk mendapatkan informasi. Prinsip lex specialis derogat legi generali tidak bisa digunakan untuk membenarkan peraturan khusus yang melanggar UUD 1945. 

     2. Pasal 50B Ayat (2) huruf k 

  Dalam pasal yang masih berbicara soal SIS ini, dirumuskan bahwa salah satu yang juga menjadi hal terlarang dalam konten siaran ialah konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme. Seperti yang  diketahui, bahwa frasa pencemaran nama baik sempat menjadi polemik dalam UU ITE sebab sifatnya yang terlalu abstrak. Keabstrakan dari pasal ini berpotensi menimbulkan suatu multitafsir dalam mengaplikasikan pasal tersebut. 

  Dampak dari pasal multitafsir, seperti menyebabkan adanya batas terhadap kebebasan berpendapat baik opini maupun kritik. Selanjutnya, masyarakat akan takut untuk berpendapat sehingga tidak sejalan dengan prinsip demokrasi, dan terdapat kemungkinan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum untuk menentukan siapa yang bersalah dan tidak bersalah.[9] Para jurnalis memberikan perhatian terhadap pasal tersebut karena apabila disahkan maka akan berpotensi menyebabkan penyalahgunaan dengan menggunakan pasal tersebut untuk menjerat konten jurnalis, sehingga berimplikasi terhadap pembatasan kebebasan pers. [10]

     3. Pasal 51E

  Dalam Pasal 51E dirumuskan bahwa sengketa jurnalisme yang terjadi antara KPI dan pihak terkait dalam hal ini jurnalis, akan diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal ini memiliki beberapa permasalahan, antara lain ketika ada sengketa antara KPI dan pihak terkait solusi pertama yang diatur adalah melalui pengadilan, solusi yang diberikan perihal sengketa yang diatur dalam pasal ini bukanlah solusi yang konkrit dan dapat menyebabkan overload pada sistem peradilan. Kemudian ketidakjelasan kewenangan antara KPI & Lembaga Yudikatif dengan kewenangan Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU 40/1999 yang mengatur bahwa sengketa jurnalisme diselesaikan oleh Dewan Pers. Dewan Pers sendiri seyogyanya merupakan lembaga independen yang dimandatkan mengurus segala sesuatu yang berkait dengan jurnalisme dan pelaksanaan etika jurnalisme, dengan pasal ini kapasitas dan kewenangan Dewan Pers secara langsung dilangkahi. 

  Berdasarkan prinsip lex specialis derogat legi generali yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Jika pasal pasal dalam rancangan undang-undang ini terlaksanakan, maka seharusnya peraturan tersebut mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum. Namun perlu diingat, apabila peraturan yang khusus bertentangan dengan peraturan yang lebih umum, dalam hal ini Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Dasar, maka peraturan tersebut melalui Judicial Review Mahkamah Konstitusi  dapat dianggap inkonstitusional dan batal demi hukum.

Kesimpulan 

  Rencana pengesahan undang-undang penyiaran yang kontroversial merupakan tantangan bagi kebebasan pers di Indonesia. Beberapa pasal dalam rancangan undang-undang tersebut dinilai mengancam kebebasan pers dengan memberikan wewenang berlebih kepada pemerintah untuk mengontrol konten media dan kebebasan berpendapat. Hal ini memicu kekhawatiran di kalangan jurnalis dan organisasi media mengingat bahwa regulasi ini dapat digunakan untuk membungkam kritik, mengulang kembali pola pembungkaman seperti pada rezim-rezim sebelum reformasi tahun 1998.

  Sejarah pers di Indonesia menunjukkan bahwa upaya pembatasan kebebasan pers bukanlah hal baru. Dari masa penjajahan Belanda hingga era otoritarian Soekarno dan Soeharto, pers sering mengalami tekanan dan pembatasan. Namun, reformasi 1998 membawa angin segar dengan pengesahan UU 40/1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan pers sebagai hak asasi warga negara. Sayangnya, Draft RUU Penyiaran terbaru tahun 2024, yang memuat pasal-pasal kontroversial seperti Pasal 50B ayat (2) huruf c , Pasal 50B ayat (2) huruf k, dan Pasal 51E , berpotensi membatasi kebebasan pers dan menyempitkan ruang gerak jurnalis. Pasal-pasal ini bertentangan dengan UU Pers dan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara.

  Melarang konten jurnalisme investigasi dan memberikan wewenang berlebih kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran dapat merusak fungsi pers sebagai pengawas sosial dan kontrol terhadap kekuasaan. Jika dibiarkan, hal ini tidak hanya melanggar kebebasan pers tetapi juga merampas hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan mendalam. Untuk menjaga kebebasan pers dan hak masyarakat, sangat penting bagi semua pihak, termasuk jurnalis, organisasi media, dan masyarakat sipil, untuk terus memperjuangkan kebebasan pers. Regulasi yang adil dan melindungi kebebasan pers adalah kunci untuk memastikan bahwa pers dapat berfungsi dengan baik sebagai salah satu sarana untuk kritik dan bukan hanya sebagai perangkat kontrol sosial bagi pemerintah.

Saran

  Dengan adanya perhatian khalayak publik yang mengkritik dan menilai Draft RUU Penyiaran ini tidak layak untuk disahkan maka perlu dikaji kembali apakah meaningful participation dalam pembuatan RUU ini sudah berjalan dengan baik atau tidak. Menurut Mahkamah Konstitusi, meaningful participation mencakup  hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Hal ini penting dalam rangka mencapai rasa keadilan di masyarakat.[11] Selain itu, meaningful participation juga menjadi penting dalam pembuatan regulasi ini karena pada akhirnya ketika regulasi tersebut disahkan maka akan mengikat kepada masyarakat. Tidak dilibatkannya masyarakat dalam pembuatan regulasi akan berdampak pada tingkat kepatuhan masyarakat pada regulasi tersebut. Maka dari itu sebaiknya DPR melakukan segala upaya untuk melakukan reparasi terhadap rumusan pasal-pasal yang bermasalah. Selain itu, DPR sebaiknya lebih banyak mendengarkan masyarakat terlebih dahulu sebelum merumuskan suatu RUU. DPR sebagai wakil rakyat  sudah sewajarnya mengedepankan RUU yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.

References

Mainake, Yosephus, and Luthvi F. Nola. 2020. “DAMPAK PASAL-PASAL MULTITAFSIR DALAM UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK 1.” DPR RI. https://berkas.dpr.go.id/sipinter/files/sipinter-2476-307-20210722101750.pdf.

Metalianda. 2017. “Jurnal Ilmu Hukum “THE JURIS” Vol. I, No. 1, Juni 2017.” KEBEBASAN PERS DALAM PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA, (April), 76.  https://ejournal.stih-awanglong.ac.id/index.php/juris/article/download/25/12.

Pratama, Cahya D., and Serafica Gischa. 2020. “Peran Pers dalam Negara Demokrasi Halaman all.” Kompas.com, December 21, 2020. https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/202617269/peran-pers-dalam-negara-demokrasi?page=all

Radhia, Annisa, and Banu Abdillah. 2022. “Kebebasan Pers Bagian Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat.” Komnas HAM. https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2022/6/23/2167/kebebasan-pers-bagian-kebebasan-berekspresi-dan-berpendapat.html.

Sjarif, Fitriani A. 2022. “Arti Meaningful Participation dalam Penyusunan Peraturan.” Hukumonline. https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-imeaningful-participation-i-dalam-penyusunan-peraturan-lt62ceb46fa62c0/.   


[1]I. Hutagalung. (2013). “Dinamika Sistem Pers di Indonesia“. Ejournal undip, Juli, 2013. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaksi/article/view/6588

[2]Mutiara Gita. (2023). “ SEJARAH PERKEMBANGAN PERS DAN PEMANFAATAN MUSEUM PERS NASIONAL SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN SEJARAH MASA PERGERAKAN NASIONAL”. Online Journal Unja, Juli, 2023. https://online-journal.unja.ac.id/jejak/article/view/24651

[3]Tempo.com. (….). “Peringatan 25 Tahun Pembredelan Tempo”. Tempo, https://interaktif.tempo.co/proyek/25-tahun-pembredelan/index.html 

[4]https://www.e-jurnal.com/2013/12/pengertian-jurnalisme-menurut-para-ahli.html

[5]Metalinda. (2017). “KEBEBASAN PERS DALAM PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA”. Ejournal STIH Awanglong, Juni, 2017. https://ejournal.stih-awanglong.ac.id/index.php/juris/article/download/25/12 

[6]Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 

[7]Pratama, Cahya D., and Serafica Gischa. 2020. “Peran Pers dalam Negara Demokrasi Halaman all.” Kompas.com, December 21, 2020. https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/202617269/peran-pers-dalam-negara-demokrasi?page=all.

[8]K. Septiawan Santana. (2004).Jurnalisme investigasi. Media Neliti, 2004. https://media.neliti.com/media/publications/156515-ID-jurnalisme-investigasi.pdf

[9]Mainake,Yosephus, dan N.  Luthvi Febryka. (2020). Berkas.dpr.go.id., Agustus, 2020. https://berkas.dpr.go.id/sipinter/files/sipinter-2476-307-20210722101750.pdf

[10]ibid

[11]Fitriani Ahlan. (2022). Arti Meaningful Participation dalam Penyusunan Peraturan. Hukum Online, 13 Juli, 2022. https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-imeaningful-participation-i-dalam-penyusunan-peraturan-lt62ceb46fa62c0/.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *