Polemik Pemberian Ganti Rugi Atas Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum di Daerah Prioritas Pariwisata Bajo

Tanah ini untuk Siapa?

Pembangunan infrastruktur jalan di Labuan Bajo tepatnya di Desa Golo Mori menjadi bagian dari serangkaian program pembangunan daerah prioritas pariwisata. Pembangunan tersebut memiliki tujuan untuk mendukung fasilitas dan infrastruktur pariwisata di daerah tersebut. Pembangunan jalan tersebut telah direncanakan oleh pemerintah sejak tahun 2016 dan mulai dibangun pada tahun 2020. Namun dalam proses pembangunan terdapat beberapa masalah dengan warga lokal, salah satunya adalah pemberian ganti rugi terhadap warga yang terdampak. Hal ini dibuktikan dengan adanya tuntutan dari banyak warga yang merasa dirugikan oleh pemerintah, setidaknya terdapat sebanyak 51 keluarga dari kampung Cumbi, Nalis, dan Kenari yang di mana mereka masih memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan ganti rugi yang layak atas tanah mereka yang terkena dampak dari proses pembangunan jalan tersebut. Polemik ini sampai dengan kajian ini dirilis belum mendapatkan sorotan khusus dari pemerintah hingga media-media tersohor skala nasional. Tim kemudian melansir artikel dari Project Multatuli bertajuk “Mereka yang Suaranya Diabaikan dan Dibungkam di Tengah Gegap Gempita ASEAN Summit di Labuan Bajo” Berikut Pemberitaan terkait.

Viktor Frumentius yang merupakan warga Kampung Cumbi mengatakan bahwa semenjak sosialisasi ini dimulai, pemerintah tidak pernah menjelaskan adanya ganti rugi untuk pengadaan tanah tersebut yang akan digunakan untuk pembangunan jalan, tetapi jika masyarakat meminta ganti rugi terhadap bidang tanahnya maka pemerintah akan membangun jalan tersebut di luar Kampung Cumbi dan Desa Golo Mori. Tetapi menurut Edistasius Endi selaku Bupati Manggarai Barat menyatakan bahwa dokumen yang ia pegang berisikan pernyataan dukungan dari masyarakat bahwasanya dalam proyek pembangunan jalan tersebut, masyarakat bersedia untuk tidak sama sekali mendapatkan ganti rugi dari pemerintah. Dokumen itu berisikan tidak hanya dengan tanda tangan warga, tetapi juga berisikan tanda tangan kepala desa hingga Kepala Camat dan Bupati Manggarai Barat saat itu. Tetapi menurut pengakuan Haji Mustofa Sulaiman yang didapat dari Viktor Frumentius, bahwa salah satu warga dari Kampung Nanga Nae mendapatkan ganti rugi dari pemerintah sebesar 130 juta.

Alasan penuntutan yang dilakukan oleh warga tersebut adalah pada saat sosialisasi yang dihadiri oleh Bupati Endi dijanjikan pemberian ganti rugi jika rumah atau aset dari warga terkena dampak dari proyek pembangunan jalan tersebut, karena Bupati Endi sendiri menyebutkan bahwa negara menyiapkan anggaran sebesar 85 miliar. Selain itu warga dari kampung Labuan Bajo-Golo Mori, merasa telah dimanipulasi oleh pemerintah agar tidak menuntut haknya, karena jika warga dari Labuan Bajo-Golo Mori tidak memberikan tanah kepada pemerintah maka pembangunan jalan tersebut akan dilakukan di luar dari kampung tersebut, perlu ditekankan bahwasanya Kampung Golo Mori ini adalah kampung yang terisolasi dengan minimnya akses.

Bagaimana peraturan terkait mengatur hal tersebut?

Seluruh tanah beserta semua isi yang terdapat diatas dan dibawahnya merupakan milik bangsa Indonesia, menurut hak bangsa. Sebagai hak penguasaan tertinggi, hak bangsa memiliki dua unsur yaitu unsur kepunyaan dan unsur dalam mengatur penguasaannya. Hak bangsa sendiri tercantum pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mengatakan “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa.”  Kewenangan dalam hak bangsa untuk mengatur penguasaan tanah didelegasi kepada negara, disebut hak menguasai dari negara yang diatur dalam Pasal 2 UU No. 5/1960. Maka dari itu, negara dapat melakukan segala upaya kepada tanah di Indonesia demi kepentingan umum, kepentingan negara dan atau kepentingan bangsa yang didasari hak bangsa dan hak menguasai dari negara.

Upaya dalam menjalankan kepentingan umum tidak semata-mata berdasarkan hak bangsa dan hak menguasai dari negara saja tetapi adanya pengaturan sendiri tentang itu. Salah satu upaya yang sering dilakukan oleh negara adalah pengambilan hak penguasaan milik rakyat untuk kepentingan umum. Pengambilan hak penguasaan milik rakyat dapat dilakukan melalui pengadaan tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah sebagian dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang dan melalui pelepasan hak yang diatur dalam Pasal 18 UU No.5/1960.

Pengadaan tanah sendiri bertujuan menyediakan tanah untuk kepentingan umum, tujuannya tercantum di dalam Pasal 3 UU No. 2/2012. Selain menyediakan tanah pemerintah juga wajib untuk menyediakan ganti rugi kepada masyarakat rakyat yang terkena dampaknya. Hal ini dengan jelas diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 2/2012 yang menyatakan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum. Lebih lanjut pada Pasal 5 UU 2/2012 mengatur bahwa:

“Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” 

Maksud dari kata “Pihak yang Berhak” dalam pasal itu sendiri sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UU 2/2012 diartikan sebagai pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah. Lebih lanjut masyarakat yang tanahnya digunakan untuk kepentingan umum wajib untuk melepaskan tanahnya, setelah menerima ganti rugi dari dana yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah. Pada Pasal 9 UU No. 2/2012 menyebutkan wajib terdapat keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan masyarakat dengan pemberian ganti rugi yang adil.

Dalam konteks yang lebih ekstrimnya menggunakan Pasal 18 UU No. 5/1960 mengenai pencabutan hak atas tanah. Hak penguasaan tanah yang dicabut oleh pemerintah pusat atau Presiden wajib dilakukan disertai dengan pemberian ganti rugi, walaupun tidak adanya kata sepakat dalam musyawarah dari kedua belah pihak. Akibat dari pelepasan hak penguasaan tanah yang “memaksa,” maka dari itu pengaturan dalam pencabutan hak wajib dilakukan dengan Surat Keputusan Presiden. Pelaksanaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya.

Bagaimana peraturan terkait mengatur ganti rugi atas pengadaan tanah?

Pemberian ganti rugi kepada masyarakat dilakukan melalui serangkaian prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2021. Prosedur pemberian ganti rugi dimulai dengan penilaian objek (tanah) oleh jasa penilai hingga penyerahan ganti kerugian kepada masyarakat. Prosedur tersebut akan dijelaskan secara rinci dalam tulisan ini.

  1. Penilaian oleh penilai pertanahan

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 13 UU 2/2012 bahwa: 

Penilai Pertahanan atau disebut dengan Penilai adalah Penilai Publik yang telah mendapatkan lisensi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/ pertanahan dan tata ruang untuk menghitung nilai objek kegiatan Pengadaan Tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum, atau kegiatan pertanahan dan penataan ruang lainnya.” 

Tugas dari penilai adalah menghitung nilai dari objek kegiatan pengadaan tanah atau kegiatan pertanahan dan penataan ruang lainnya. Penilaian dilakukan untuk menentukan besarnya ganti kerugian yang akan dilakukan oleh instansi pada pengadaan tanah. Penghitungan dilakukan per bidang tanah, meliputi tanah; ruang atas tanah dan ruang bawah tanah; bangunan; tanaman; benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai (Pasal 1 nomor 13  jo. Pasal 68 PP No.19/2021).

Pada kondisi tertentu seperti tidak terdapatnya (penilai pertanahan) atau demi melakukan efisiensi biaya dalam pengadaan tanah berskala kecil, penilai pertanahan dapat digantikan dengan penilai publik atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri. Sama dengan penilai pertanahan, penilai publik atau pejabat yang ditunjuk bertugas untuk menghitung nilai dari objek kegiatan pengadaan tanah. Hal yang membedakannya adalah penilai publik merupakan orang perseorangan yang telah mendapatkan izin praktik penilaian dari menteri bidang keuangan negara, secara independen dan profesional sementara itu penilai pertanahan merupakan penilai publik yang diberikan lisensi oleh menteri bidang agraria/pertanahan dan tata ruang. Sederhananya penilai publik yang mendapatkan lisensi dari menteri di bidang keuangan dapat memiliki kewenangan sebagaimana penilai hanya jika ia ditunjuk oleh menteri di bidang agraria/ pertanahan dan tata ruang (Pasal 1 nomor 13 dan 14 Jis. Pasal 67 PP No. 19/2021).

Sebelum melakukan penilaian mengenai besarnya nilai ganti kerugian, penilai wajib menerima berita acara terlebih dahulu yang berisi salinan dokumen perencanaan, daftar nominatif dan peta bidang tanah, dari ketua pelaksana Pengadaan Tanah. Setelah itu, penilaian dilakukan dalam jangka waktu maksimal 30 hari sejak berita acara ditandatangani. Dalam hal kelancaran penilaian, penilai dapat meminta informasi dan/atau data yang mendukung kepada instansi terkait (Pasal 68 PP No.19/2021).

Penilai melakukan penilaian besarnya ganti kerugian berdasarkan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan, beserta masa tunggu yang dapat menjadi pertimbangan. Masa tunggu merupakan jangka waktu yang dihitung dari penetapan lokasi sampai penetapan pembayaran. Besarnya nilai ganti kerugian merupakan nilai tunggal per bidang tanah. Selain itu, besarnya nilai ganti kerugian. bersifat final dan mengikat. Maksud dari “final dan mengikat,” sepanjang masa penilaian dilakukan sesuai dengan standar penilaian yang berlaku, nilai ganti kerugian bernilai tunggal dan tidak dapat dimusyawarahkan. Besarnya hasil dari nilai ganti kerugian menjadi dasar dari musyawarah. Maka dari itu, hasil dari penilaian disampaikan terlebih dahulu kepada ketua pelaksana pengadaan tanah beserta dengan berita acara penyerahan hasil penilaian (Pasal 69 PP No. 19/2021)

Dalam hal terdapat tanah sisa yang tidak dapat difungsikan, pihak yang berhak dapat meminta ganti kerugian terhadap tanah sisa tersebut. Permintaan ganti kerugian tanah sisa tidak terbatas dengan luas wilayah, bahkan pihak yang berhak masih bisa meminta ganti kerugian walaupun bidang tanah sisa tidak lebih dari 100 m2. Namun terdapat ketentuan khusus pada luas bidang tanah tertentu, seperti pada bidang tanah yang melebihi 100 m2 wajib mendapat pengkajian dalam bentuk berita acara dari pelaksana pengadaan tanah bersama instansi yang memerlukan tanah dan tim terkait. Musyawarah penetapan bentuk ganti kerugian adalah kegiatan yang dilakukan oleh instansi yang membutuhkan tanah dan pihak yang berhak, dipimpin oleh ketua pelaksana pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk. Selain itu, jalannya musyawarah didampingi oleh penilai atau penilai publik. Penilai publik adalah orang perseorangan yang telah mendapatkan lisensi untuk melakukan penghitungan nilai objek penilaian tanah.  Tujuan dilakukannya pengadaan tanah untuk menentukan bentuk ganti kerugian dan pemberitahuan jumlah besarnya ganti kerugian hasil penilaian, berdasarkan hasil penilaian ganti kerugian (Pasal 70 PP No.19/2021). 

Musyawarah pengadaan tanah harus segera dilakukan setelah ketua pelaksana pengadaan tanah menerima hasil dari penilaian ganti kerugian. Maka dari itu, pelaksana pengadaan tanah wajib segera mengundang pihak yang berhak di tempat dan waktu yang ditentukan oleh pelaksana pengadaan tanah, dalam jangka waktu paling lama 30 hari. Menurut ketentuan undangannya disampaikan setidak-tidaknya 3 hari sebelum musyawarah dilaksanakan. Pihak yang berhak dapat diwakili jika berhalangan hadir dengan memberikan kuasa kepada pihak lain. Menurut ketentuan pihak yang diberi kuasa hanya dapat dilakukan oleh keluarga dengan hubungan darah dua derajat ke atas, ke bawah, atau ke samping; dalam subjek hukum adalah badan hukum diwakili oleh orang yang ditunjuk dalam anggaran dasar; dan salah satu perwakilan dari pemilik/penguasa objek tanah yang dimiliki/dikuasai lebih dari satu orang. Selain itu, undangan dapat diterima oleh pihak yang berhak jika dinyatakan tidak cakap di mata hukum. Maksud dari tidak cakap di mata hukum adalah pihak yang berhak belum dinyatakan dewasa, atau dibawah pengampuan yang dapat mempengaruhi dalam membuat keputusan (di PP contohnya cuman hilang ingatan atau gila). Pihak yang tidak hadir dan tidak diwakili dianggap menyetujui hasil dari musyawarah, setelah diundang sebanyak 3 kali (Pasal 71 dan Pasal 72 Jis Pasal 73 PP No. 19/2021).

Hasil dari musyawarah pengadaan tanah dituangkan dalam berita acara, yang memuat pihak yang setuju; pihak yang tidak setuju; dan pihak yang tidak hadir. Berita acara ini yang dijadikan dasar dalam pemberian ganti kerugian. Hasil dari berita acara ditandatangani oleh pihak pelaksana pengadaan dan pihak yang berhak atau kuasa yang ditunjuk. pihak yang tidak setuju mengenai bentuk atau besarnya ganti kerugian dapat mengajukan ke Pengadilan Negeri, dalam jangka waktu maksimal 14 hari dari hasil musyawarah ditandatangani. Pihak yang merasa keberatan mengenai putusan Pengadilan Negeri  dapat mengajukan permohonan kasasi, dalam jangka waktu paling lama 14 dari putusan Pengadilan Negeri. Baik putusan dari pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan dari tingkat kasasi, diputuskan oleh hakim dalam jangka waktu paling lama 30 hari setelah permohonan diajukan (Pasal 74 Jo. Pasal 75 PP No.19/2021).

2. Pemberian ganti rugi kepada masyarakat pasca musyawarah

Pasca musyawarah, pemberian ganti rugi terhadap pengadaan tanah yang dilakukan wajib diberikan oleh Pemerintah melalui tahapan yang diatur dalam Pasal 71 sampai dengan Pasal 88 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“PP 19/2021”). Adapun tahapan-tahapan untuk memberikan ganti rugi pasca musyawarah dari pasal yang dirujuk terdiri atas:

3. Pencatatan hasil kesepakatan musyawarah dalam Berita Acara Kesepakatan

Pencatatan ini menjadi langkah pertama pasca musyawarah pengadaan tanah yang dilakukan, yang didasarkan pada Pasal 74 PP 19/2021. Berikutnya hasil kesepakatan yang dihasilkan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada Pihak yang Berhak yang dituangkan dalam berita acara kesepakatan. Dalam berita acara kesepakatan yang ditulis harus memuat; pertama, pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya, yang setuju beserta bentuk ganti kerugian yang disepakati. Kedua, pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya, yang tidak setuju. Ketiga, pihak yang berhak yang tidak hadir dan tidak memberikan kuasa. Lebih lanjut, dalam Pasal 76 ayat (1) PP 19/2021, ganti kerugian dapat diberikan oleh pemerintah dalam bentuk: uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Ganti kerugian ini diberikan sesuai dengan nilai ganti kerugian yang nominalnya sama dengan nilai yang ditetapkan oleh penilai dan ditandatangani oleh pelaksana pengadaan tanah dan pihak yang berhak yang hadir atau kuasanya.

4. Penetapan bentuk ganti kerugian

Dalam Pasal 76 ayat (1) PP 19/2021, ganti kerugian dapat diberikan oleh Pemerintah dalam bentuk; Pertama, uang. Pelaksanaan ganti kerugian yang dilakukan oleh Pemerintah mengutamakan pemberian ganti-rugi dalam bentuk uang bermata uang Rupiah berdasarkan berita acara kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2) [Pasal 77 PP 19/2021]. Pemberian ganti-rugi berbentuk uang dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah berdasarkan validasi dari ketua pelaksana pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk. Validasi tersebut dilaksanakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari sejak dibuatnya berita acara kesepakatan mengenai bentuk ganti kerugian (Pasal 78 ayat (2) dan ayat (3) PP 19/2021). Pemberian ganti-rugi berbentuk uang dilakukan bersamaan dengan pelepasan hak oleh pihak yang berhak (Pasal 78 ayat (4) PP 19/2021), yang dilakukan dalam waktu paling lama 17 (tujuh belas) hari sejak penyampaian hasil validasi oleh pelaksana pengadaan tanah [Pasal 78 ayat (5) PP 19/2021]. Pemberian ganti-rugi berbentuk uang dapat dilakukan lebih dari 17 hari apabila: anggaran yang tersedia tidak mencukupi; pihak yang berhak tidak hadir saat jadwal pembayaran ganti kerugian; terdapat persoalan keamanan, ekonomi, politik, sosial, budaya dan/atau persoalan teknis lainnya [Pasal 78 ayat (6) dan ayat (7) PP 19/2021].

Kedua, tanah pengganti. Pelaksanaan ganti kerugian berbentuk tanah pengganti dilaksanakan oleh instansi yang memerlukan tanah berdasarkan permintaan tertulis dari ketua pelaksana pengadaan tanah, yang mana tanah pengganti tersebut diberikan untuk dan atas nama pihak yang berhak [Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) PP 19/2021]. Penyediaan tanah pengganti tersebut dilakukan melalui jual beli atau cara lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal peruntukan tanah pengganti dan termasuk dalam jenis kepentingan umum, penyediaannya dapat dilakukan melalui tahapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum [Pasal 79 ayat (3) dan ayat (4) PP 19/2021]. Pemberian ganti-rugi berbentuk tanah pengganti dilakukan bersamaan dengan pelepasan hak oleh pihak yang berhak tanpa menunggu tersedianya tanah pengganti [Pasal 79 ayat (5) PP 19/2021]. Selama proses penyediaan tanah pengganti, dana penyediaan tanah pengganti, dititipkan pada bank oleh dan atas nama instansi yang memerlukan tanah. terkait pelaksanaan penyediaan tanah pengganti tersebut dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak penetapan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana pengadaan tanah [Pasal 79 ayat (6) dan (7) PP 19/2021].

Ketiga, pemukiman kembali. Pelaksanaan ganti kerugian berbentuk pemukiman kembali dilaksanakan oleh instansi yang memerlukan tanah berdasarkan permintaan tertulis dari ketua pelaksana pengadaan Tanah [Pasal 80 ayat (1) PP 19/2021]. Penyediaan tanah untuk pemukiman kembali dilakukan melalui jual beli atau cara lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal pemukiman kembali yang kegiatannya termasuk dalam jenis kepentingan umum, penyediaannya dapat dilakukan melalui tahapan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum [Pasal 80 ayat (2) dan ayat (3) PP 19/2021]. Pemberian ganti-rugi berbentuk pemukiman kembali diberikan untuk dan atas nama pihak yang berhak; dan dilakukan bersamaan dengan pelepasan hak oleh pihak yang berhak tanpa menunggu selesainya pembangunan pemukiman kembali [Pasal 80 ayat (4) dan ayat (5) PP 19/2021]. Selama proses penyediaan pemukiman kembali, dana pemukiman kembali dititipkan pada bank oleh dan atas nama instansi yang memerlukan tanah. Terkait pelaksanaan penyediaan pemukiman kembali tersebut dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sejak penetapan bentuk ganti kerugian oleh pelaksana pengadaan tanah [Pasal 80 ayat (6) dan (7) PP 19/2021].

Keempat, kepemilikan saham. Pelaksanaan ganti kerugian berbentuk kepemilikan saham diberikan oleh badan usaha milik negara yang berbentuk perusahaan terbuka atau badan usaha yang mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian dari lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, badan hukum milik negara/badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus pemerintah pusat dalam rangka penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum [Pasal 82 ayat (1) PP 19/2021]. Pelaksanaan ganti-rugi berbentuk kepemilikan saham dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pihak yang berhak dengan badan usaha milik negara atau Badan Usaha yang mendapatkan kuasa berdasarkan perjanjian dari lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, badan hukum milik negara/badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus pemerintah pusat dalam rangka penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum [Pasal 82 ayat (2) PP 19/2021]. Pemberian ganti-rugi berbentuk kepemilikan saham dilakukan bersamaan dengan pelepasan hak oleh pihak yang berhak dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan [Pasal 82 ayat (3) dan ayat (4) PP 19/2021].

Kelima, bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pelaksanaan ganti-rugi berbentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak dapat berupa gabungan 2 (dua) atau lebih bentuk ganti kerugian [Pasal 83 ayat (1) PP 19/2021]. Ketentuan mengenai pelaksanaan pemberian ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 s.d. Pasal 82 PP 19/2021 berlaku sama ‘mutatis mutandis’ terhadap pelaksanaan ganti kerugian [Pasal 83 ayat (2) PP 19/2021]. 

 

Menurut Pasal 37 UU No. 2/2012 musyawarah menjadi faktor terpenting dalam menentukan ganti rugi. Bahwa hasil musyawarah itu akan dimasukan ke dalam berita acara dan dilanjutkan dengan penetapan bentuk ganti kerugian. Akan tetapi, jika terdapat ketidaksepakatan dalam musyawarah maka Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri setempat atau jika Pihak yang Berhak masih keberatan maka ke Mahkamah Agung. Mengingat bahwa kegiatan pengadaan tanah dilakukan dengan kesepakatan maka kedudukan pemerintah dan masyarakat sebagai subjek hukum baik orang maupun badan hukum akan menjadi setara. Sehingga kita akan mengacu pada syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Pasal 1320 memuat 4 syarat yang salah satunya adalah kesepakatan pihak yang membuat perjanjian. Dalam kesepakatan yang dilakukan harus dilakukan secara bebas. Maka dari itu, tindakan yang mengandung pemaksaan, khilaf dan penipuan dapat membatalkan perjanjian tersebut.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa walaupun Pemerintah daerah mengancam warga untuk menyetujui penggusuran tanpa ganti rugi, tetapi tidak bisa termasuk dalam paksaan karena ancaman yang dilakukan tidak melawan hukum. Masyarakat dapat dinyatakan sebagai pihak yang khilaf karena tidak menyadari mengenai ketentuan ganti rugi yang berlaku, sedangkan pemerintah daerah yang mengetahui kekhilafan warga memanfaatkannya untuk membuat perjanjian. Pemerintah dapat dinyatakan sebagai pihak yang melakukan penipuan. Pasalnya ganti rugi memang tidak direncanakan dalam APBD, dan pemerintah daerah dengan aktif menyatakan bahwa tidak adanya ganti rugi. Pemerintah daerah menutupi fakta mengenai ketentuan ganti rugi dan memanfaatkan kekosongan hukum dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah. Oleh karena itu, seharusnya masyarakat mendapatkan ganti rugi atau dengan kata lain pemerintah harus memberikan ganti rugi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait.

 

DAFTAR PUSTAKA

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. 1960. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104. Jakarta.

Indonesia. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 6631. Jakarta.

Indonesia. 2021. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 6631. Jakarta.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

BUKU

Harsono, Boedi.2006. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Penerbit Universitas Trisakti. Jakarta 

ARTIKEL

Floresca. Co, 2023. Mereka Yang Suaranya Di Abaikan Dan Di Bungkam Di Tengah Gegap Gempita ASEAN Summit Di Labuan Bajo. Penerbit https://projectmultatuli.org/ 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *