Penulis: Davina Putri Felisha, Alya Puti Aurumi, Dita Nur Rosmawati
Munculnya film “Vina: Sebelum 7 Hari” membuat atensi publik kembali tertuju kepada kasus pembunuhan Vina dan Eky yang terjadi pada tahun 2016. Oleh karena desakan publik, Polda Jawa Barat kembali membuka proses penyidikan kasus ini. Penyidikan diawali dengan diumumkannya ciri-ciri dari 3 orang yang berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO), dan salah satu dari DPO tersebut bernama Pegi alias Perong (Pegi Perong). Pada pertengahan tahun 2024, seseorang bernama Pegi Setiawan ditangkap di kota Bandung oleh tim gabungan Polda Jawa Barat dan ditetapkan sebagai tersangka karena diduga merupakan Pegi Perong yang dimaksud dalam DPO. Akan tetapi, Pegi Setiawan menepis tuduhan tersebut didukung dengan bukti-bukti yang ada. Bersama dengan tim kuasa hukumnya, Pegi Setiawan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Bandung. Terhadap gugatan tersebut, hakim pun menyatakan bahwa bukti-bukti yang diserahkan oleh tim kuasa hukum Pegi Setiawan terbukti benar dan memutus bebas Pegi Setiawan. Peristiwa salah tangkap tersebut akhirnya menimbulkan pertanyaan publik terhadap kinerja kepolisian terkait penyelesaian kasus ini, serta sejauh mana penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada proses penyidikan Pegi Setiawan.
Kasus Vina dan Eky terjadi di Cirebon pada Sabtu, 27 Agustus 2016 dan dilaporkan sebagai kecelakaan tunggal. Rudiana, ayah Eky yang menjabat sebagai Inspektur Polisi Satu (IPTU), merasa ada kejanggalan atas kecelakaan itu karena tidak terdapat kerusakan pada sepeda motor Vina dan Eky yang menandakan telah terjadinya kecelakaan. Pada Rabu, 31 Agustus 2016, IPTU Rudiana dan rekannya pergi ke tempat kejadian untuk mencari informasi sekaligus saksi yang mengetahui penyebab kematian anaknya. Disana mereka menemukan Aep dan Dede yang menjelaskan secara detail mengenai peristiwa yang terjadi. Menurut pengakuan mereka, terdapat anak-anak geng motor yang berselisih dan saling kejar-kejaran menggunakan sepeda motor. Setelah mendengar pengakuan tersebut, Rudiana dan rekannya bergegas mencari dan mengamankan 8 orang anggota geng motor tersebut, yaitu Eko Ramdani, Supriyanto, Hadi Saputra, Eka Sandi, Sudirman, Jaya, dan Saka Tatal. Delapan orang itu langsung dibawa ke polres untuk diinterogasi, dan ditetapkan menjadi tersangka. Rudiana juga menyebutkan 3 nama pelaku yang berhasil kabur, yaitu Andi, Dadi, dan Pegi Perong yang berstatus sebagai DPO. Dengan adanya kesaksian dari Aep dan Dede, kejadian Vina dan Eky ditetapkan sebagai kasus pembunuhan dan pemerkosaan, bukan kecelakaan. Setelah 8 tahun berlalu, seseorang bernama Pegi Setiawan yang diduga sebagai salah satu DPO bernama Pegi Perong berhasil ditangkap oleh kepolisian Bandung pada Selasa, 21 Mei 2024.
Seiring berjalannya proses penyidikan, publik mulai menaruh rasa curiga bahwa Pegi Setiawan merupakan korban salah tangkap. Hal ini dikarenakan penangkapan yang dilakukan terkesan terburu-buru, serta pihak kuasa hukum Pegi Setiawan yang selalu menegaskan kepada publik bahwa kliennya bukanlah Pegi Perong yang dimaksud di dalam DPO. Toni RM selaku anggota kuasa hukum Pegi Setiawan menyatakan bahwa pada hari penangkapan, penyidik Ditreskrimum Polda Jawa Barat menangkap Pegi Setiawan ketika ia belum ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, Toni RM juga menyebutkan bahwa Pegi Setiawan tidak pernah diperiksa dalam proses penyidikan.[1] Di sisi lain, Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, “bukti permulaan yang cukup” adalah sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Ketentuan-ketentuan tersebut juga berlaku untuk menetapkan tersangka. Dalam memperoleh bukti permulaan, maka perlu dilakukan penyidikan. Hal ini dapat diketahui melalui pengertian penyidikan yang tercantum di dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP, yakni penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hal tersebut, artinya penangkapan yang dilakukan tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa penangkapan yang dilakukan tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 17 dan Pasal 183 KUHAP.
Menurut Toni RM, Tim Polda Jabar baru mendapatkan barang-barang bukti setelah dilakukannya penangkapan terhadap Pegi Setiawan. Beberapa barang bukti tersebut diantaranya berupa 2 lembar STNK sepeda motor dengan nomor polisi D 3408 TFP dan B 6247 PIK, dua kunci motor, akta kelahiran atas nama Pegi Setiawan, dua buku rapor asli SD dan SMP atas nama Pegi Setiawan, dua lembar ijazah asli SD dan SMP atas nama Pegi Setiawan, dua lembar fotokopi kartu keluarga dengan nomor 3209140405090062, dua lembar ijazah SMP dan hasil ujian nasional Pegi Setiawan, dan 4 lembar foto. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa syarat dilakukannya penangkapan adalah dengan bukti permulaan yang cukup, sedangkan bukti-bukti yang diajukan dalam pengadilan dinilai terlalu lemah karena tidak dapat menunjukan secara faktual bahwa Pegi Setiawan merupakan pelaku dalam peristiwa ini. Pada proses persidangan, Muchtar Effendi selaku tim kuasa hukum Pegi Setiawan menyatakan bahwa barang-barang bukti yang diajukan Polda Jabar sangat tidak berkualitas dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam mempersangkakan seseorang. Meskipun KUHAP pada dasarnya tidak mengatur secara spesifik mengenai kualitas dari suatu barang bukti, tetapi sesuai dengan fungsi dan tujuannya, barang bukti seharusnya mampu memberikan titik terang terhadap suatu peristiwa tindak pidana tertentu, sedangkan bukti-bukti yang diajukan oleh Polda Jabar hanya memuat identitas Pegi Setiawan dan tidak mengarahkan pada tindakan yang menunjukan bahwa Pegi Setiawan merupakan salah satu pelakunya.
Dalam pertimbangannya, Hakim Tunggal PN Bandung Eman Sulaeman menyatakan bahwa penetapan tersangka tidak akan cukup hanya dengan dua alat bukti, namun harus diikuti dengan pemeriksaan calon tersangka seperti yang tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi.[2] Berdasarkan Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 yang dalam pertimbangannya, hakim menimbang bahwa agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana maka frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti (seperti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP) dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).[3] Menurut mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, konsep in absentia adalah konsep dimana terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah sehingga pengadilan melakukan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.[4] Menurut tim kuasa hukum Pegi Setiawan, sejak 2016 kliennya tidak pernah mendapatkan panggilan sebagai saksi dalam perkara tersebut dan tidak pernah diperiksa pada proses penyidikan yang dilakukan pada tahun 2016.
Selain alat bukti, kejanggalan berikutnya dikemukakan oleh Sugianti selaku anggota tim kuasa hukum Pegi Setiawan terkait dengan dua motor milik Pegi Setiawan yang disita oleh pihak Polres Cirebon pada tahun 2016. Saat penyidikan kasus tersebut sedang berjalan, Pegi Setiawan sempat dicurigai sebagai salah satu pelaku sehingga kedua motor miliknya disita untuk keperluan proses penyidikan. Namun berdasarkan penuturan Sugianti seharusnya jika kliennya bersalah, maka seharusnya Polisi sudah menangkapnya, terutama kedua motor milik Pegi Setiawan telah disita pada tahun 2016. Selain itu, Toni RM juga menyampaikan bahwa kedua sepeda motor milik Pegi disita tanpa adanya penetapan pengadilan.[5] Menurut Pasal 38 ayat (1) KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin dari ketua pengadilan setempat. Berdasarkan hal itu, maka dapat diketahui bahwa penyitaan dua unit sepeda motor milik Pegi tersebut tidak sah dan melanggar ketentuan Pasal 38 ayat (1) KUHAP. Menurut tim kuasa hukum Pegi Setiawan, menjadi suatu hal yang janggal ketika kedua motor milik kliennya telah disita sejak tahun 2016, namun baru dilakukan penangkapan 8 tahun kemudian. Seharusnya jika Pegi Setiawan benar merupakan pelaku pembunuhan dan penganiayaan, maka tidak perlu memerlukan waktu yang cukup lama untuk menangkap Pegi Setiawan.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak sekali kejanggalan dan ketentuan KUHAP yang tidak diterapkan oleh pihak kepolisian dalam penangkapan Pegi Setiawan. Beberapa ketentuan di dalam KUHAP yang tidak diterapkan di antaranya adalah Pasal 17, Pasal 38 ayat (1), dan Pasal 183. Seperti yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, sebelum ditetapkan sebagai tersangka, calon tersangka harus diperiksa terlebih dahulu. Akan tetapi, pada kasus ini Pegi Setiawan langsung ditetapkan sebagai tersangka tanpa adanya pemeriksaan terlebih dahulu sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum terhadapnya. Barang bukti yang lemah juga menjadi alasan publik meragukan kinerja kepolisian yang seolah-olah dengan sengaja mencari kesalahan Pegi Setiawan untuk dijadikan terpidana. Melalui kejanggalan serta tidak diperhatikannya ketentuan KUHAP dan peraturan perundang-undangan lain, dapat dilihat bahwa pihak kepolisian yang menangani kasus ini terlalu terburu-buru dalam mencari kebenaran materiil dengan hasil yang tidak dapat dipertanggungjawabkan di mata hukum. Dengan adanya desakan publik untuk mencari fakta mengenai kasus ini, bukan berarti dengan proses yang cepat dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap kinerja kepolisian.
Inkompetensi kepolisian dalam menangani perkara ini tidak mencerminkan profesionalitas hingga menyebabkan Pegi Setiawan ditahan. Penulis sebagai bagian dari masyarakat yang diayomi dan dinaungi oleh kepolisian dalam hal perlindungan hukum merasa kecewa atas terjadinya peristiwa ini. Kami berharap dengan adanya desakan publik, pihak kepolisian dapat menangani kasus ini dengan penuh integritas serta dapat memenuhi rasa keadilan bagi keluarga korban maupun para terpidana.
[1] Panji Prayitno, “Kuasa Hukum Pegi Setiawan Ungkap 5 Kejanggalan Penyidik di Praperadilan Kasus Vina Cirebon”. Liputan 6.com. https://www.liputan6.com/regional/read/5633102/kuasa-hukum-pegi-setiawan-ungkap-5-kejanggalan-penyidik-di-praperadilan-kasus-vina-cirebon (Diakses 14 Agustus 2024).
[2]Rahel Narda Chaterine dan Dani Prabowo, “Pakar Pidana Polisi Hanya Bisa Jerat Pegi Setiawan Lagi Jika Ada Bukti Baru”. Nasional.Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2024/07/09/15175481/pakar-pidana-polisi-hanya-bisa-jerat-pegi-setiawan-lagi-jika-ada-bukti-baru (Diakses 14 Agustus 2024)
[3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
[4] Abdul Rahman, Bukan Kampung Maling, Bukan Desa Ustadz : Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar. PT. Kompas Media Nusantara, 2008.
[5] Panji Prayitno, Op.cit.