Sebuah Catatan Kritis
Oleh Divisi Kajian dan Riset
Penulis: David Sianturi dan Karin Daniela
Jalan Panjang Perlindungan Aktivis HAM
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”. Nyatanya tidak sanggup melindungi Heri Budiawan alias Budi Pego, seorang pejuang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di hutan Banyuwangi dari ancaman Tambang Tumpang Pitu. Budi Pego dkk melakukan kecaman keras dalam rangka menolak tambang emas yang dikelola oleh PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT Damai Suksesindo (PT DSI). Budi Pego dkk menggelar demonstrasi bersama puluhan warga di Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dengan melakukan aksi pemasangan spanduk. Namun, aksi demonstrasi ini disisipi oleh pihak lain yang tidak dikenal dengan memasang spanduk berlogo “Palu Arit” yang mana kental kaitannya dengan sejarah kelam Bangsa Indonesia yaitu, Komunisme. Alhasil, Budi Pego dkk dituduh melanggar Pasal 107a Undang-Undang 27 Tahun 1999 yang berbunyi, “Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”
Adapun pada 26 Maret 2023, Komnas HAM mengeluarkan sikap untuk Budi Pego sebagai berikut:
- Meminta Presiden RI Joko Widodo untuk memberikan amnesti;
- Proses hukum di tingkat pengadilan yang lebih tinggi (apabila PK diajukan) dilakukan dengan independen, imparsial, transparan, dan adil sesuai dengan prinsip-prinsip HAM;
- Meminta Menteri Lingkungan Hidup untuk segera menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Tentang Perlindungan Terhadap Pembela HAM di Bidang Lingkungan Hidup;
- Meminta Pemprov Jawa Timur, Polres Banyuwangi, serta PT. Merdeka Copper Gold bersama anak perusahaannya yaitu PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Suksesindo untuk mematuhi rekomendasi yang sudah dikeluarkan oleh Komnas HAM nomor 0.961/R-PMT/VI/2020 tertanggal 10 Juni 2020 untuk mengedepankan prinsip-prinsip Bisnis dan HAM (BBC, 2023).
Rekayasa Kasus Budi Pego
Pemidanaan Budi Pego sejak awal penangkapan sampai dengan putusan. Menurut pernyataan Tedjo Rivai, salah satu penasehat hukum Budi Pego saat dihubungi oleh Tempo.co, Budi Pego ditangkap paksa di rumahnya oleh petugas, lalu dibawa ke kejaksaan sekitar pukul 17.00 WIB pada 24 Maret 2023 (Amirullah, 2023). Penangkapan ini dirasa janggal oleh pihak keluarga namun saat petugas dimintai untuk memperlihatkan surat perintah penahanan, petugas hanya membukanya sekilas tanpa sempat dibaca dan tidak untuk difoto. Penangkapan Budi Pego nyatanya tetap dilakukan meskipun pihak keluarga belum mendapatkan salinan putusan kasasi dari kasus ini. Padahal berdasarkan Pasal 18 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam setiap penangkapan diwajibkan adanya tembusan surat perintah penangkapan bagi keluarga terdakwa. Penangkapan ini merupakan buntut dari proses kasasi atas Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi 559/Pid.B/2017/PN.Byw pada tanggal 23 Januari 2018 yang menyatakan Budi Pego melakukan tindak pidana “Kejahatan terhadap keamanan Negara” dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. Kemudian putusan ini dimintakan banding oleh Penuntut Umum pada Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang menyatakan Budi Pego secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara melawan hukum, dimuka umum dengan tulisan menyebarkan ajaran komunisme dalam segala bentuk dan perwujudannya” dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan melalui Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur Nomor 174/Pid/2018/PT.Sby pada tanggal 16 Maret 2018. Selanjutnya, Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pihak Budi Pego dan mengubah hukuman menjadi 4 tahun penjara pada 16 Maret 2018, tidak dijalankan selama 3 tahun sampai tahun 2022. Lalu baru pada tanggal 24 Maret 2023, Budi Pego ditangkap atas dasar putusan kasasi (Nelisa 2021 : 23).
Upaya kriminalisasi Budi Pego dapat dikatakan tidak masuk akal, terutama dalam pengenaan Pasal 107a KUHP. Stigmatisasi “penyebar ajaran komunis” hanya dilakukan untuk membatasi ruang gerak dan perjuangan perlindungan lingkungan Budi Pego. Putusan ini memberikan “lampu hijau” bagi PT BSI untuk tetap melancarkan usaha tambangnya. Bahkan, diketahui bahwa dari 13 saksi yang dihadirkan dalam persidangan, hanya 4 saksi yang mengaku melihat secara langsung spanduk dengan logo “palu arit” dan 3 dari 4 saksi tersebut adalah karyawan PT BSI serta seorang yang lain merupakan wartawan dari Banyuwangi TV. Lebih lanjut, Budi Pego bahkan sama sekali tidak tahu menahu mengenai Marxisme, Komunisme, dan Leninisme. Hal ini dinyatakan Budi Pego dalam persidangan bahwa ia tidak mengetahui lambang Palu Arit merupakan lambang dari Partai Komunis Indonesia. Namun, pernyataan ini dikesampingkan karena menurut hakim, hal ini merupakan pengetahuan umum dan Budi telah menamatkan sekolah sampai pada jenjang Sekolah Menengah Pertama sehingga dianggap mengetahui pelarangan Partai Komunis Indonesia dan paham Komunis yang tidak sesuai dengan ideologi bangsa.
Sejauh Mana Ketentuan Anti-SLAPP Melindungi Budi Pego?
Pertama, Pasal 66 UU PPLH merupakan ketentuan Anti-SLAPP atau Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation di Indonesia. Hal ini ditegaskan dalam Bab IV angka 4 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa Indonesia memberlakukan sistem hukum “Anti-SLAPP” untuk melindungi pejuang lingkungan hidup. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa “Anti-SLAPP merupakan perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup, gugatan SLAPP dapat berupa gugatan balik (gugatan rekonvensi), gugatan biasa atau berupa pelaporan telah melakukan tindak pidana bagi pejuang lingkungan hidup (misalnya, dianggap telah melakukan perbuatan “penghinaan” sebagaimana diatur dalam KUHP)”. Pembelaan terhadap SLAPP dalam bidang hukum perdata dapat dilakukan melalui provisi, eksepsi, atau gugatan rekonvensi. Dalam ranah pidana, pembelaan SLAPP dapat diajukan melalui eksepsi dan akan diputuskan dalam putusan sela. Persoalannya, pengaturan mengenai Anti-SLAPP di Indonesia masih terlalu minim, tidak adanya ketegasan mengenai jangka waktu dan prioritas pemeriksaan pembelaan SLAPP membuat hal ini dengan mudah dilewatkan, ditambah lagi dengan pengenaan pasal yang tidak berhubungan sama sekali dengan permasalahan lingkungan, layaknya kasus Budi Pego (Indrawati, 2022 :14).
Kedua, berdasarkan Penjelasan dari Pasal 66 UU PPLH, yang mengatakan bahwa, “Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan”. Hakim mempertimbangkan bahwa perlindungan khusus tersebut dibatasi oleh negara yaitu kepada orang-orang yang memperjuangkan hak dengan menggunakan cara yang sesuai dengan hukum. Dengan demikian, Budi Pego ternyata telah melakukan aksi unjuk rasa dan terbukti tidak menggunakan cara-cara yang diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, maka dari itu, hakim memutuskan bahwa Terdakwa tidak termasuk ke dalam subjek hukum yang berhak atas perlindungan tersebut (Setiawan dan Sitabuana, 2021 : 10).
Judicial Behaviour dalam Kasus Budi Pego
Melanjutkan dari sub bab rekayasa dari kasus Budi Pego yang membawa spanduk berlogo Palu Arit, spanduk tersebut tidak dibuat oleh Budi. Hal ini dikarenakan pada saat proses pembuatan berbagai spanduk warga didampingi dan diawasi langsung oleh Babinmas dan Babinkamtibmas Kecamatan Pesanggrahan. Akan tetapi, Hakim Agung yang mengadili kasus tersebut tetap tidak membenarkan penggunaan Logo Palu Arit untuk kegiatan apapun karena dapat diterjemahkan sebagai upaya menghidupkan kembali ajaran Komunisme di Indonesia, sehingga dengan demikian perbuatan Terdakwa dan kawan-kawan Terdakwa tidak dapat dibenarkan dan merupakan sebuah pelanggaran hukum baik secara langsung maupun tidak langsung. Titik permasalahan dalam kasus Budi Pego ini adalah pandangan para hakim terkait Logo Palu Arit ini sehingga Budi Pego dikenakan Pasal 107a KUHP. Pandangan para hakim terkait logo palu arit ini dalam konteks Indonesia sangat erat dengan paham Komunisme.
Komunisme di Indonesia menjadi sebuah hal yang sangat tabu dan sensitif untuk diperbincangkan. Hal ini tidak terlepas dari sejarah Indonesia pada masa lampau sehingga memberikan trauma bagi bangsa Indonesia hingga sekarang. Memperbincangkan Putusan Nomor 1567/K/Pid.Sus/2018, semua eksaminator yang membahas putusan tersebut dalam Eksaminasi Putusan Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi Nomor 559/Pid.B/2017/PN.Byw dan Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Nomor 174/PID/2018/PY SBY di Fakultas Hukum Universitas Airlangga memberikan catatan bahwa putusan tersebut: a) tidak memiliki kejelasan logika hukum; b) penjatuhan hukuman yang tidak netral, meskipun tidak dapat dibuktikan secara faktual baik mens rea maupun actus reus Budi Pego dalam persidangan; dan c) unsur-unsur ‘melawan hukum’, ‘penggulingan pemerintah yang sah’, dan lainnya seakan tidak logis dengan judex factie di persidangan. Terjadinya keanehan-keanehan yang terdapat dalam Putusan PN dan Putusan PT yang mengadili kasus Budi Pego ini secara implisit menyatakan realitas sosial-politik dengan cara kerja hukum dan peradilan di Banyuwangi saling bersinergi satu sama lain, yang dimana sinergitas kedua fakta tersebut mempengaruhi judicial behaviour atau dapat disebut sebagai keperilakuan dalam peradilan (Wiratraman, 2019 : 154).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat menilai bahwa pengaturan tentang Anti-SLAPP di Indonesia belum efektif dalam melindungi para aktivis khususnya Budi Pego pada kasus ini. Terlepas dari belum maksimalnya pengaturan tentang Anti-SLAPP di Indonesia, ternyata pelaksanaan acara pidana pun belum sesuai dengan apa yang ditentukan dalam KUHAP seperti dipaparkan dalam sub bab rekayasa kasus Budi Pego. Lebih lanjut berkenaan Putusan Kasasi pun menjadi pertanyaan mengapa baru dieksekusi setelah 3 tahun. Apalagi eksekusi itu pun berdekatan dengan aktivitas penolakan observasi daerah tambang di sekitar Banyuwangi. Lebih lanjut mengenai perilaku hakim dalam memutus perkara dinilai tidak netral karena dalam putusannya mengabaikan fakta hukum yang ada serta istilah ‘penggulingan pemerintahan yang sah’ tidaklah masuk akal. Penulis menilai hal itu tidak masuk akal karena apa yang dilakukan Budi Pego dan kawan-kawannya adalah untuk menolak pertambangan di daerah itu dan bukan untuk menggulingkan pemerintahan. Serta efek domino yang ditimbulkan dari aktivitas Budi Pego pun tidak sampai pada penggulingan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
Amirullah. “Aktivis Penolak Tambang Budi Pego Ditangkap, Keluarga Belum Terima Putusan Kasasi.” Tempo.co, https://nasional.tempo.co/read/1706896/aktivis-penolak-tambang-budi-pego-ditangkap-ke
luarga-belum-terima-putusan-kasasi. Accessed 25 Maret 2023.
BBC News Indonesia. “Aktivis menolak tambang emas di Banyuwangi ‘dicap komunis’, dipenjara setelah kasusnya ‘digantung’ empat tahun – mengapa pegiat lingkungan ‘harus dilindungi’?” BBC, 28 Maret 2023, https://www.bbc.com/indonesia/articles/cv290lyn293o.
Indrawati, Nani. “Perlindungan Hukum Terhadap Partisipasi Masyarakat (Anti SLAPP) Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di Indonesia.” Media Iuris, vol. 5, no. 1, 2022.
Nelisa, Lidya. “Urgensi Penguatan Ketentuan Prosedural Anti-SLAPP di Indonesia untuk Melindungi Pembela HAM Lingkungan dari Serangan Litigasi.” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, vol. 8, no. 1, 2021.
Setiawan, Harry, and Tundjung Herning Sitabuana. “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEJUANG LINGKUNGAN HIDUP YANG DIJAMIN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.” Era Hukum: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, vol. 19, no. 1, 2021.
Wiratraman, Herlambang P. “Penegakan Hukum dan Penghormatan Hak Asasi Manusia.” Memperkuat Peradaban Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia, Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2019.