Kilas Diskusi: Israel-Palestina, The Never Ending Story

     Polemik Israel dan Palestina bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat indonesia secara umum khususnya bagi sebagian besar masyarakat yang peduli pada hak kemerdekaan segala bangsa dan sikap politik Indonesia sejak masa Ir. Soekarno. Asumsi ini diperkuat dengan fakta empiris yang menampilkan pelbagai penolakan yang datang dari kelompok masyarakat atas keikutsertaan Tim Sepakbola Israel Usia 23 dalam ajang Piala Dunia Usia 23 yang pada saat itu indonesia terpilih sebagai tuan rumah. Penolakan yang terjadi menjelang penyelenggaraan ajang tersebut semakin masif terjadi hingga berujung pada pernyataan sikap menolak oleh para gubernur yang daerahnya terpilih sebagai daerah dilangsungkan pertandingan dalam ajang tersebut. Penolakan ini berujung pada pembatalan status Indonesia sebagai tuan rumah ajang Piala Dunia Usia 23. 

     Pembatalan tersebut berujung pada keriuhan dalam tubuh masyarakat sendiri, pendapat pro dan kontra penolakan terhadap israel mewarnai berbagai forum diskusi formal hingga non formal. Termasuk diskusi yang dilaksanakan pada sabtu (13/05/2023) yang mempertemukan para narasumber yakni Dr. Iur. Liona Nanang Supriatna, Dina Y. Sulaeman, Guntur Romli, dan Felix Irianto. Sekilas diskusi ini menghadirkan masing-masing narasumber dengan latar belakang yang berbeda satu sama lain yakni dari kalangan akademisi, politisi, hingga pemerhati polemik timur tengah. 

Upaya Kembali Ke “Tanah Terjanji”

     Keinginan terbesar dari bangsa Yahudi adalah memiliki perlindungan. Bukan tidak mendasar, keinginan orang Yahudi disebabkan oleh perlakuan tidak mengenakan dari anti semitisme yang dipengaruhi oleh ajaran agama kuno. Anti semitisme adalah prasangka atau kebencian yang ditujukan kepada Yahudi. Puncak dari anti semitisme terjadi saat kejahatan kemanusiaan holocaust. Nazi berhasil menggunakan anti semitisme kepada rakyat Jerman untuk membenci orang Yahudi, dengan mengatakan segala ketidakberuntungan disebabkan oleh bangsa Yahudi. Akibatnya, holocaust memakan enam juta jiwa yang dianiaya dan dibunuh dengan kejam.

     Upaya-upaya yang dilakukan oleh bangsa Yahudi dalam mencari perlindungan dimulai dengan migrasi massal, sampai membeli tanah untuk dikelola dan dijadikan tempat tinggal. Segala upaya yang dikatakan sebelumnya dilakukan oleh Jewish Colonization Association (ICA), didirikan oleh Baron Maurice de Hirsch. Selain itu, terdapat gerakan cukup radikal yang dilakukan oleh organisasi Zionis. Berawal dari anti semitisme, seorang jurnalis bernama Theodore Herzl merasa orang Yahudi membutuhkan entitas untuk berlindung yang disebut negara. Mempelopori sebuah gagasan negara Yahudi, Herzl juga membentuk organisasi Zionis untuk merealisasikan gagasannya. Sangat disayangkan, negara Yahudi yang diimpikan oleh Herzl terbentuk setelah Herzl meninggal dunia. Tetapi organisasi Zionis membuahkan hasil, salah satu pencapaian terbesarnya adalah meminta jaminan tanah Yerusalem kepada Amerika dan Inggris setelah Kekaisaran Ottoman jatuh. Sebagai salah satu kerajaan Islam terbesar Kekaisaran Ottoman menguasai wilayah yang sangat besar, salah satunya adalah “tanah yang dijanjikan” atau Palestina. Keinginan besar untuk mengubah Palestina menjadi negara Yahudi disebabkan oleh sejarah dan pengetahuan panjang orang Yahudi terhadap Palestina menurut kitab suci.

Perjanjian Internasional Terkait

     Upaya yang dilakukan bangsa Yahudi tak lama berbuah manis dengan dideklarasikannya kemerdekaan Israel pada 14 Mei 1948. Hal tersebut tak terlepas dari dukungan yang diberikan Arthur Balfour seorang menteri luar negeri Inggris dengan dikeluarkannya Deklarasi Balfour, yang berisikan dukungan Inggris untuk pembentukan  “Rumah Nasional” bagi bangsa Yahudi di Palestina. Deklarasi Balfour ini dianggap sebagai awal mula konflik yang tak berkesudahan antara Israel dan Palestina, pasalnya deklarasi ini merupakan ungkapan dukungan yang pertama dari sebuah kekuatan politik terhadap gerakan zionisme yang membangkitkan semangat bagi bangsa yahudi dalam mencapai cita-citanya untuk memiliki sebuah entitas untuk melindungi bangsa Israel.

     Dalam rangka menyelesaikan konflik antara israel dan palestina, PBB mengeluarkan resolusi 181 yang membagi dua kawasan di palestina, yaitu 55% bagi orang yahudi di palestina, 45% bagi orang arab di palestina dan Yerusalem sebagai corpus separatum yang dikontrol langsung oleh PBB. Resolusi ini lahir dari hasil voting yang dilakukan oleh 56 negara anggota PBB, hasilnya 33 negara mendukung rencana pembagian wilayah di palestina, 13 diantaranya menolak rancangan ini dan 10 negara tidak memberikan suara. Namun sayangnya, walaupun sudah dikeluarkan resolusi 181 yang diharapkan dapat meredam konflik kedua negara ini, yang terjadi adalah pengusiran besar-besaran terhadap masyarakat palestina, sekitar 750.000 jiwa terusir dari kediamannya. Melihat ketidakadilan yang terjadi, PBB kembali mengeluarkan resolusi pada tahun 1949 yang dikenal dengan resolusi 149 “Right To Return” atau Hak untuk kembali bagi masyarakat palestina yang terusir, tetapi hingga saat ini resolusi 194 tidak pernah dilaksanakan. 

Polemik Saat ini 

     Awal mula dari konflik Israel dan Palestina salah satu penyebabnya adalah pelanggaran yang dilakukan oleh Israel. Pada Pasal 1(2) Piagam PBB menyebutkan, “To develop friendly relations among nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace.” Isi dari Pasal tersebut mengatakan self-determination atau hak menentukan nasib sendiri wajib dihormati dan tidak boleh dilanggar, supaya menjaga hubungan setiap negara. Pada praktiknya dalam konflik Israel dengan Palestina, self-determination dilanggar dengan mengokupasi wilayah Palestina dan penggusuran wilayah Palestina. Selain itu norma uti possidetis juris yang dilanggar Israel dengan menduduki wilayah Yerusalem Timur. Pelanggaran terjadi karena tidak ada konsensus tegas yang menarik garis batasan dua negara tersebut, bahkan keduanya mengakui bahwa Yerusalem merupakan ibukota dari masing-masing negara. Selanjutnya larangan use of force, dalam Hukum Internasional dilarang penguasaan wilayah suatu negara menggunakan kekerasan. Diatur pada Pasal 2 (4) Piagam PBB menyebutkan “All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.” Penggunaan senjata untuk memperoleh wilayah dilakukan oleh israel dengan dilakukannya pengusiran-pengusiran terhadap masyarakat Palestina, yang kemudian tanah tanah tersebut dibuat real estate bagi orang yahudi yang berada di eropa. Hal ini menunjukan bahwa israel melanggar asas use of force.

      Selama Konflik Israel dengan Palestina terjadi, Israel telah melanggar prinsip-prinsip dasar Hukum Humaniter Internasional (HHI) menurut Ambarwati. Dari kedelapan prinsip dasar HHI menurut Ambarwati Israel melanggar empat prinsip dasar yaitu prinsip pembedaan, prinsip keseimbangan atau proporsional, prinsip ksatria dan larangan penggunaan bersenjata yang menimbulkan penderitaan yang tidak perlu. Pelanggaran prinsip yang dilakukan oleh Israel terjadi saat Israel berusaha untuk meraih “tanah dijanjikan” dengan tidak menghiraukan rakyat Palestina yang telah menempatinya terlebih dahulu. Tindakan yang dilakukan oleh Israel yang dapat diperhitungkan sebagai pelanggaran prinsip dasar, dimulai dari tidak membedakan warga civil dengan kombatan yang terjadi di Gaza, tidak menggunakan cara terhormat dalam merealisasikan cita-citanya seperti pengusiran terhadap rakyat Palestina, penggunaan senjata dengan cara yang tidak terhormat dan menimbulkan penderitaan yang tidak perlu. 

     Setelah mencapai cita-cita nya untuk mendirikan sebuah negara, israel tetap dihujani berbagai pertentangan, khususnya negara negara Arab yang mempersoalkan perbatasan wilayah. Tiga negara arab yang terdiri dari Mesir, Yordania dan Suriah meluncurkan invasi ke negara Israel yang baru lahir tersebut  sebagai perang Arab-Israel pertama yang lebih dikenal dengan sebutan “perang enam hari”  yang telah merenggut nyawa 20.000 orang Arab dan 800 orang israel dalam enam hari pertempuran. Setelah ditangani oleh PBB dengan kemenangan oleh Israel, perang ini berujung pada penguasaan Semenanjung Sinai, Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem  Timur dan Dataran Tinggi Golan, yang berukuran empat kali lipat dari luas wilayah Israel. Penguasaan Israel atas wilayah wilayah tersebut melahirkan berbagai permasalahan baru, terutama wilayah yerusalem Timur yang secara sepihak diklaim menjadi bagian dari wilayah Israel yang merupakan satu kesatuan sebagai ibu kota Israel. 

     Dapat berlindung dan bergantung kepada negara sekarang merupakan impian rakyat Palestina. Sungguh ironis, demi mewujudkan cita-cita untuk memiliki sebuah negara, Israel merebut hak-hak yang dimiliki oleh rakyat Palestina. Walaupun Palestina telah diakui sebagai sebuah negara tetapi kebebasannya masih dibatasi. Bahkan terdapat wilayah-wilayah Palestina yang diokupasi oleh Israel dengan illegal, hal ini membuat pertanyaan mengenai sisa hak yang dimiliki rakyat Palestina. Demi memperjuangkan hak-hak yang direbut, rakyat Palestina memiliki inisiatif untuk membuat organisasi yang bergerak dalam bidang politik dan militer. Organisasi tersebut adalah Hamas dan Palestinian Liberation Organization (PLO) keduanya bergerak dibidang Politik dan militer. Sedangkan terdapat kelompok yang hanya bergerak di bidang militer Palestinian Islamic Jihad (PIJ).

     Persamaan tujuan tidak membuat ketiga organisasi ini bekerja sama, bahkan ketiganya memiliki hubungan yang relatif buruk. Sebagai contoh baik Hamas maupun PIJ tidak sejalan dengan organisasi PLO. Keduanya tidak setuju dengan PLO sebagai perwakilan Palestina yang mengakui kedaulatan Israel, berhenti melakukan konfrontasi militer dan menyetujui Kesepakatan Oslo. Tindakan yang dilakukan oleh PLO ini bahkan tidak disetujui oleh semua faksi PLO terutama Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) dan Democratic Front for the Liberation of Palestine-Hawatmeh (DFLP-H) yang masih melakukan penyerangan militer. Selain hubungan buruk antara PLO dengan Hamas dan PIJ, semulanya hubungan antara Hamas dengan PIJ berjalan baik bahkan keduanya sering melakukan kerjasama dalam melakukan penyerangan Israel. Sebagai organisasi yang melakukan penyerangan yang bersifat radikal, baik Hamas dan PIJ menggunakan pendekatan yang sama dalam segi militer tetapi hubungan ini memburuk disebabkan Hamas yang menarik batasan kepada PIJ untuk berhenti menyerang Israel.

 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazeera. “Israel’s Prime Target: What is Palestinian Islamic Jihad?” Al-Jazeera. https://www.aljazeera.com/news/2023/5/11/israels-prime-target-what-is-      palestinian-islamic-jihad

Bard, Mitchell. “Pre-State Israel: Jewish Claim To The Land Of Israel.” Jewish Virtual Library. https://www.jewishvirtuallibrary.org/jewish-colonization-association-ica

Ben-Gurion, David. “Theodor Herzl.” Britanica. https://www.britannica.com/biography/Theodor-Herzl

Christa Auli, Renata. “Hukum Humaniter Internasional:Asas dan Dasar Hukumnya.” Hukumonline. https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukum-humaniter-internasional-asas-dan-dasar-hukumnya-lt62e8ebdd0a7c4/

Hadi Subroto, Lukman. “Kesultanan Utsmaniyah: Sejarah, Sultan, Kejayaan, dan Keruntuhan.” Kompas. https://www.kompas.com/stori/read/2021/12/03/080000179/kesultanan-utsmaniyah–sejarah-sultan-kejayaan-dan-keruntuhan?page=all

Jewish Virtual Library A Project of AICE. “Palestine Liberation Organization (PLO): History & Overview. Jewish Virtual Library A Project of AICE. https://www.jewishvirtuallibrary.org/history-and-overview-plo

Kurniawan, Andre.  “Sejarah 5 Juni 1967: Pecahnya Perang Enam Hari antara Israel dan Arab” Merdeka https://www.merdeka.com/jabar/sejarah-5-juni-1967-pecahnya-perang-enam-hari-antara-israel-dan-mesir-kln.html 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *