Sebuah Catatan Kritis
Oleh Divisi Kajian dan Riset HMPSIH 2023
Penulis: David Sianturi, Jason Christopher, dan Haquilla Chelsea
Kembali berlakunya sistem proporsional tertutup?
Isu terkait pelaksanaan kembali sistem proporsional tertutup dalam memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat kembali eksis menjelang pemilihan umum (pemilu) akbar di tahun 2024. Pada November 2021 melalui diskusi publik bertajuk “Menimbang Sistem Pemilu 2024: Catatan dan Usulan” yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bekerja sama dengan Akbar Tandjung Institute, terungkap keinginan untuk mengembalikan sistem proporsional terbuka ke proporsional tertutup. Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai salah satu pembicara dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa peserta pemilu merupakan partai politik dan bukan individu. Selain itu penerapan sistem proporsional terbuka menyebabkan para calon legislatif (caleg) yang memiliki pemahaman politik dan idealisme yang kuat justru tersingkir karena kalah secara elektoral (Martiar, 2021).
Setahun setelah itu, isu pelaksanaan sistem proporsional tertutup kembali eksis dan mendapat sorotan khusus ketika ada yang mengajukan permohonan Judicial Review (JR) terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan JR ini kemudian meramaikan kembali isu terkait pelaksanaan sistem proporsional tertutup. Namun, sesungguhnya sistem proporsional tertutup ini memiliki nilai sejarah tersendiri bagi Indonesia. Hal itu karena sistem proporsional ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1992. Akan tetapi terlepas dari perdebatan mana yang sebenarnya lebih baik, penulisan ini hadir berposisi netral menilai sistem apakah yang ideal bagi Indonesia melihat dari sudut pandang teori dan historis yang dibandingkan.
Urgensi Pemohon memohon Judicial Review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
Permohonan pengujian Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 2017, Tambahan Negara Nomor 6109) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) diajukan berdasarkan nomor register perkara No. 144/PUU-XX/2022 pada hari Rabu, 16 November 2022.
Para pemohon mengajukan permohonan dilandasi atas kepedulian terhadap penyelenggaraan proses pemilihan umum yang mencirikan demokrasi bahwa Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia dibangun atas pondasi politik kuat sebagai penyangga atas eksistensi konstitusional lembaga negara di Indonesia. Sebagaimana yang telah diatur dalam UUD 1945, peranan partai politik dalam penyelenggaraan pemerintahan indonesia salah satunya sebagai sistem yang dapat mendidik kader-kadernya dalam saluran demokrasi demi tujuan berbangsa dan bernegara yang menciptakan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Namun, hal tersebut dirasa dikesampingkan dengan adanya norma yang termaktub dalam Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 368 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang pada pokoknya terdapat norma mengenai sistem proporsional terbuka, nomor urut dan nama calon anggota berada pada kolom yang disediakan, dan calon terpilih berdasarkan perolehan suara terbanyak. Atas norma tersebut, para pemohon melihat kekuatan dan pengaruh individu dalam proses pemilu yang besar sehingga mengarah pada populisme yang mengakibatkan timbulnya hasrat dari orang-orang untuk menjadi populer demi menggalang dukungan tanpa melalui seleksi dan kaderisasi secara demokratis yang lebih jauh lagi akan timbulnya bentuk liberalisasi dan kebebasan tanpa batas dalam penyelenggaran pemilu.
Oleh karena itu pada pokok petitumnya, para pemohon memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan sistem proporsional terbuka dengan pemilihan berdasarkan suara terbanyak dari nomor urut dan nama calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Para pemohon menilai sistem proporsional terbuka merugikan partai politik dan pemilih dari segi antara lain:
1.Persaingan kader yang tidak sehat
Bahwa para pemohon menilai seiring berjalannya waktu, penyelenggaraan pemilu berdasarkan sistem berbasis suara terbanyak dibajak oleh caleg yang hanya berorientasi untuk “populer dan menjual diri” tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik. Sehingga, caleg yang terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, namun mewakili dirinya sendiri. Caleg akan bertindak atas kemenangan individual yang mutlak dalam pemilu yang dapat menyebabkan liberalisme politik atau “persaingan bebas” antara caleg yang seharusnya pemilu merupakan kompetisi antar partai politik di pemilu.
2. Peranan partai politik yang terdistorsi
Bahwa yang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik”, para pemohon merasa sistem proporsional terbuka dengan sifat keterbukaannya calon secara langsung kepada pemilih merupakan hal yang bertentangan dengan corak demokrasi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” dan lebih mengarah kepada “kerakyatan yang dipimpin oleh perseorangan yang dipilih melalui pemilu”. Sebab dalam hal ini caleg akan berkompetisi secara individual yang dalam proses kampanyenya tanpa dipungkiri atas kehendaknya sendiri akan melakukan apapun untuk mendapatkan suara, sehingga tidak ada jaminan publik bahwa caleg memiliki kredibilitas yang baik. Caleg atas acuan suara terbanyak akan bertindak secara bebas untuk menarik perhatian pemilih melalui aksi-aksi sosial yang bertujuan menggaet popularitas tanpa merepresentasikan ideologi partai politik. Bahwa atas hal tersebut para pemohon menilai dalam sistem proporsional tertutup, partai politik memiliki ruang kedaulatannya tersendiri untuk menentukan wakil-wakil terbaik melalui proses pendidikan dan pembinaan secara internal yang demokratis. Sehingga nantinya hal tersebut merupakan jaminan untuk pemilih memilih partai politik berdasarkan ideologi partai politik dibandingkan dengan caleg secara individual.
3. Biaya yang tinggi (high cost) untuk penyelenggaraan pemilu
Para pemohon menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu 2024 apabila masih menggunakan sistem yang sama akan membutuhkan anggaran sekitar 76,6 triliun rupiah yang dahulu pada pemilu 2019 membutuhkan dana 24,8 triliun rupiah. Anggaran tersebut belum termasuk dari kebutuhan anggaran caleg untuk berkampanye yang menurut liputan Republika mencapai 787 juta – 9,3 miliar rupiah untuk caleg DPR RI dan 320 juta – 3 miliar rupiah untuk caleg DPR Provinsi. Para pemohon menyatakan keberatan terhadap penggunaan dana yang besar dalam sistem proporsional terbuka karena tidak sebanding dengan kualitas anggota DPR dan DPRD yang terpilih. Maka dari itu, para pemohon menyatakan bahwa pendanaan yang tinggi tersebut diminimalisir oleh adanya kewenangan seluruhnya dari partai politik untuk mengatur dana kampanye dari caleg yang akan menjadi anggota, sehingga KPU akan lebih efektif untuk mengontrol keuangan partai politik yang sebagaimana termaktub dalam Pasal 329 s.d Pasal 331 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Catatan Historis Pelaksanaan Sistem Proporsional
Apabila kita mengulas kembali perjalanan pelaksanaan sistem pemilihan kandidat melalui sistem proporsional pada pemilu, pelaksanaan sistem proporsional telah mengalami perubahan dari yang pertama hingga keempat. Pada pelaksanaan sistem proporsional pertama di tahun 1971, sistem pemilihan tersebut dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem stelsel daftar (tertutup). Pelaksanaan pemilu pada tahun 1971 ini kemudian terus berlanjut ke tahun 1997 dan 1999. Transformasi terjadi pasca reformasi sehingga pemilu legislatif tahun 2004, dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka “setengah hati” sebab dalam pelaksanaanya tidak murni sistem proporsional terbuka. Terjadinya transformasi pelaksanaan pemilu dari sistem proporsional tertutup ke arah sistem proporsional terbuka dapat dipahami sebagai evaluasi dan perkembangan pemaknaan demokrasi.
Sistem proporsional terbuka menyebabkan pemilihan caleg berdasarkan basis wilayah. Sehingga setiap daerah akan memiliki wakil baik itu daerah besar maupun daerah kecil. Hal ini dilaksanakan dengan melihat hubungan langsung yang tercipta antara orang yang memilih dan dipilih menjadi lebih dekat. Hal ini dapat terjadi karena mereka yang terpilih akan menjaga kredibilitasnya di depan rakyat yang memilihnya sehingga anggota DPR akan sering mengunjungi daerah pemilihannya karena pada dasarnya pemilih mengenal wakil-wakil yang mereka pilih karena pemilih dapat memilih langsung nama orangnya. Dengan memilih nama orangnya langsung rakyat dapat menilai siapa yang benar-benar memperjuangkan pemilih dan daerahnya. Hal ini yang menjadi alasan praktek sistem proporsional tertutup ditinggalkan dan digantikan dengan proporsional terbuka. Lalu, mulai pada tahun 2004, pelaksanaan pemilu Indonesia dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka “setengah hati”. Kemudian Pelaksanaan sistem proporsional terbuka pada tahun 2009 terus berlanjut hingga ke tahun 2019. Namun demikian, perlu atensi lebih dalam bahwa sepak terjang pelaksanaan sistem proporsional pemilu di Indonesia pernah mengalami JR. Berikut ringkasan dari beberapa JR terhadap pelaksanaan sistem proporsional:
1. Putusan MK Nomor 22/PUU-VI/2008:
Putusan ini menjadi atensi bagi seluruh pembaca, di mana putusan ini memberikan latar belakang dan alasan kenapa sistem proporsional terbuka menjadi pilihan dalam pelaksanaan pemilu caleg di Indonesia. Latar belakang Putusan MK Nomor 24/PUU-VI/2008 diawali dari adanya kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon. Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 205 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU 10/2008 tidak adil dan bersifat diskriminatif karena apabila perolehan suara atau sisa suara di Daerah Pemilihan tersebut kurang dari 50% (lima puluh perseratus) dari Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP), maka suara caleg tersebut akan dibawa ke provinsi dan yang bersangkutan tidak mendapat jaminan akan mendapatkan kursi di DPR. Begitu juga apabila sebagai pemilih juga dirugikan hak konstitusionalnya oleh karena suara yang diperoleh oleh calon anggota DPR yang dipilihnya pada satu daerah pemilihan, perolehan suara atau sisa suara kurang dari 50% (lima puluh perseratus) dari BPP dapat dialihkan ke calon anggota DPR lain di Daerah Pemilihan yang lain. Sehingga pemohon menginginkan agar pemenang pemilu anggota DPR dan DPRD harus ditentukan berdasarkan suara terbanyak sebagaimana dianalogikan sama seperti Pasal 6A ayat (4) UUD-NRI 1945.Selain itu Pemohon juga memohon agar ketentuan Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 dinyatakan inkonstitusional. Alasan tersebut tertuang di dalam permohonan pemohon perkara nomor 24/PUU-VI/2008.
MK dalam menanggapi permohonan para pemohon menyampaikan pertimbangan hukum terkait pelaksanaan sistem proporsional. Pertama, Bahwa dengan dilaksanakannya pemilu dengan sistem proporsional terbuka, dengan demikian adanya keinginan rakyat memilih wakil-wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam Pemilu, sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud, harapan agar wakil yang terpilih tersebut juga tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Dengan sistem proporsional terbuka, rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif yang dipilih, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak. Kedua, terhadap pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 dinyatakan inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat sebab kehendak rakyat yang tergambarkan oleh pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif. Bahwa Pasal 214 memuat standar ganda terkait terpilihnya anggota legislatif dan menurut MK hal ini tidak adil sebab pemberlakuan satu ketentuan hukum atas dua keadaan yang tidak sama.
Sebagai konklusi, Majelis Hakim Konstitusi dengan menimbang latar belakang, petitum Hakim MK, dan posita permohonan pemohon dalam Putusan MK Nomor 24/PUU-VI/2008, menyatakan bahwa: a) permohonan Pemohon I dan Pemohon II dikabulkan sebagian; b) Pasal 214 UU 10/2008 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD-NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat; c) menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II untuk selain dan selebihnya; dan d) memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia.
2. Putusan MK Nomor 29/PUU-XVIII/2020:
Pengajuan JR oleh Aristides (pemohon) terhadap pelaksanaan sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi mendapat atensi yang menarik. Atensi dalam putusan tersebut dapat diketahui dari adanya keluhan kesulitan pemohon dalam melangsungkan pemilihan caleg yang disebabkan karena kertas suara menjadi sebesar satu setengah kali surat kabar (51 x 82 cm) akibat terteranya logo partai, foto calon, dan nama calon pada setiap kolom kertas suara. Akibatnya, waktu yang dibutuhkan pemohon untuk membuka, mencoblos, dan melipat kertas suara menjadi lebih lama dan mengkritik besarnya kertas suara pada pemilu 2019 menjadi kertas terbesar yang pernah dicoblos oleh pemohon. Hal ini dianggap oleh pemohon sebagai penghambat pencoblosan pemohon untuk menggunakan hak konstitusional pemohon sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD-1945 alinea ke-4, Pasal 28G, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD-1945, meskipun pada akhirnya permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya oleh MK dengan pertimbangan bahwa kerugian yang dialami pemohon tidak bersifat konstitusional.
Kelebihan dan Kekurangan Sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup
Dalam pelaksanaanya baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan sistem proporsional terbuka dan tertutup:
- Kelebihan sistem proporsional terbuka
-
Meningkatkan kedekatan hubungan antara calon legislatif dengan pemilih, karena pemilih dapat langsung memilih calon legislatif sesuai dengan yang diinginkannya tanpa ditentukan partai politik.
-
Proses rekrutmen calon legislatif di internal partai politik masih bersifat tertutup sehingga dengan sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memutus oligarki partai tersebut.
-
Bagi calon legislatif perempuan, sistem proporsional terbuka memberikan pembelajaran mengenai bagaimana cara berkompetisi dalam Pemilu, mendorong perempuan untuk berpolitik praktis melalui berbagai kegiatan pemenangan Pemilu, pendewasaan politik perempuan ini menjadi modal penting buat gerakan politik perempuan pada masa mendatang.
-
Partai politik dituntut untuk melakukan rekrutmen calon legislatif secara demokratis. Tidak hanya calon legislatif yang memiliki popularitas tinggi dan memiliki modal besar yang dapat terpilih sebagai calon legislatif, namun juga harus memiliki dukungan dari masyarakat.
-
Sistem proporsional terbuka mengalokasikan nilai-nilai secara otoritatif dari partai sehingga kembali nampak (Budiono, 2017).
-
- Kekurangan sistem proporsional terbuka
-
Prosedur dan mekanisme konversi suara rakyat menjadi kursi legislatif terlalu kompleks sehingga membingungkan pemilih. Sebagai contoh, jumlah pilihan calon legislatif terlalu banyak. Di tingkat DPR, setiap pemilih harus memilih paling sedikit 36 nama calon dan paling banyak 120 nama calon dari 12 partai politik.
-
Proses rekapitulasi hasil perhitungan suara terlalu panjang. Rekapitulasi dilakukan di 3 (tiga) tingkat (PPS, PPK dan KPU Kabupaten/Kota) untuk DPRD Kabupaten/Kota, 4 (empat) tingkat (PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi) untuk DPRD Provinsi, dan 5 tingkat (PPS, PPK, KPU Kabupaten/Kota, KPU Provinsi dan KPU) untuk DPR. Akibat rekapitulasi yang bertingkat – tingkat, maka hasil Pemilu anggota DPR dan DPRD baru dapat diketahui 30 hari setelah hari pemungutan suara. Lamanya proses tersebut menimbulkan kemungkinan terjadinya manipulasi hasil penghitungan suara.
- Sistem pemilihan umum proporsional terbuka memudahkan bagi calon, pemilih ataupun petugas pemungutan dan penghitungan suara untuk terlibat dalam transaksi jual beli suara.
-
- Kelebihan sistem proporsional tertutup
- Sistem proporsional tertutup dalam segi pembiayaan menjadi sangat efisien dan menekan biaya Pemilu yang mahal.
- Penerapan sistem proporsional tertutup lebih mudah dan lebih sederhana dibandingkan sistem proporsional terbuka (Agus Effendi, 2016).
- Sistem proporsional tertutup dianggap mampu meminimalisir politik uang.
- Kekurangan sistem proporsional tertutup
- Pertanggungjawaban anggota DPR terhadap masyarakat atau pemilih, menjadi sangat rendah. Kepentingan partai politik menjadi lebih dominan dibandingkan pemilih dalam menentukan calon yang terpilih.
- Sistem proporsional tertutup, tidak hanya memperkuat dan menyuburkan kembali oligarki politik, tetapi juga menghilangkan partisipasi politik berkualitas yang mulai tumbuh di masyarakat.
- Sistem proporsional tertutup menutup kanal partisipasi masyarakat, sehingga menjauhkan akses hubungan antara pemilih dan calon legislatif. Oleh karena itu, sering ditemukan bahwa pasca pemilu, anggota legislatif yang terpilih menjadi akumulasi kekecewaan publik (Budiono, 2017).
Pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional terbuka maupun tertutup tentu punya kelebihan dan kekurangan. Terlepas dari kedua hal tersebut yang paling penting adalah pengawasan terhadap pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional. Lantas, setelah mengetahui ketiga point utama yang telah dijabarkan diatas. Bagaimana seharusnya kita menanggapi peristiwa ini? Terlepas dari informasi yang diberitakan media mengenai geliat pro dan kontra permohonan JR dari berbagai kalangan seperti partai politik, ahli politik dan tata negara, hingga para pegiat demokrasi.
Editor: Yehezkiel dan Glen Judyan
DAFTAR PUSTAKA
Budiono. 2017. “Menggagas Sistem Pemilihan Umum yang Sesuai Dengan Sistem Demokrasi Indonesia.” Jurnal Ilmiah “Dunia Hukum” 13, no. 1 (Oktober).
Effendi, Agus. 2016. “Studi Komparatif Pengaturan Sistem Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia.” Fiat Justisia Journal of Law 10, no. 2 (Juni).
Kementerian Dalam Negeri. 2016. “Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.”
Mahkamah Konstitusi. “Putusan MK Nomor 22/PUU-VI/2008.”
Martiar, Nobertus A. 2021. “Mencari Sistem Pemilu Ideal bagi Indonesia, Proporsional Terbuka atau Tertutup?” Kompas, November 2, 2021. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/11/02/mencari-sistem-pemilu-ideal-bagi-indonesia-proporsional-terbuka-atau-tertutup.
“Surat Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Nomor 182 Tahun 2017, Tambahan Negara Nomor 6109) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”