HARI TANI: HENTIKAN KRIMINALISASI TERHADAP PETANI

Penulis: Fajar Permana, Jovita Nathania, Aldrich Aditya Dinova

   Indonesia merupakan salah satu negara agraris terbesar di dunia dengan pasokan hasil tani untuk ekspor menyentuh angka antara 16 hingga 20 persen pada tahun 2021.[1]Angka tersebut bukanlah angka yang kecil untuk mendukung perekonomian negara. Tingginya hasil sektor pertanian jelas tidak luput dari kerja keras para petani, selanjutnya terkait apakah para petani tersebut sudah mendapatkan kemudahan dalam berkegiatan serta kesejahteraan yang layak, masih menjadi tanda tanya besar. Bertepatan dengan Hari Tani Nasional pada 24 September, tulisan ini dibuat dengan semangat muda membara, untuk mengingatkan kita semua tentang jerih payah para petani bagi bangsa ini yang belum sepenuhnya dihargai oleh pemerintah dalam mendukung kegiatan bertani mereka dan mencapai kesejahteraan.

   Sudah 61 tahun berlalu sejak Hari Tani Nasional pertama kali ditetapkan, namun hingga kini para petani masih sering dipersulit dalam beraktivitas tani dan memperjuangkan kesejahteraannya. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewajiban dalam turut membantu kesejahteraan masyarakatnya, termasuk para petani membuat suatu program dalam upaya mensejahterakan para petani adalah dengan dibuatnya program perhutanan sosial. Secara definisi, perhutanan sosial adalah pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

  Pemberian akses legal bagi masyarakat terhadap perhutanan sosial sudah mulai didengar sejak tahun 1995 yang dituangkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622 tahun 1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan, namun saat itu program tersebut belum dapat dilaksanakan.[2] Program serupa baru kembali dilaksanakan pada periode tahun 2007 hingga tahun 2014 melalui berbagai regulasi terkait. Dalam pelaksanaannya kala itu, jangkauan akses legal pengelolaan hutan belum maksimal dilakukan. Tahun 2017, Presiden Joko Widodo, melalui konferensi pers di Boyolali menegaskan terkait agenda pemerataan ekonomi, melalui pelaksanaan Perhutanan Sosial. Program nasional ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mekanisme pemberdayaan dan tetap berpedoman pada aspek kelestarian hutan.[3]Melalui program ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tenurial dan memberikan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat yang berada di dalam atau sekitar kawasan hutan dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan.

   Perhutanan sosial berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2015 Tentang Perhutanan Sosial sebagaimana telah dicabut dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial (PermenLHK 9/2021) yaitu;

“perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.”

   Berdasarkan pengertian tersebut, perhutanan sosial terbagi menjadi beberapa skema yaitu: (1) Hutan Desa adalah kawasan hutan yang belum dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa, (2) Hutan Kemasyarakatan adalah kawasan hutan yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat, (3) Hutan Tanaman Rakyat adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan, (4) Hutan Rakyat adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak milik, (5) Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat adat, dan (6) Kemitraan kehutanan adalah kerjasama antara pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan atau pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan dengan mitra/masyarakat untuk memanfaatkan hutan pada kawasan hutan lindung atau kawasan hutan produksi.

 Permohonan pengelolaan perhutanan sosial diajukan kepada menteri serta dilakukan verifikasi administrasi dan verifikasi teknis. Verifikasi administrasi dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kesesuaian persetujuan pengelolaan hutan sosial serta pencermatan terhadap subjek dan objek persetujuan. Setelah dilakukannya verifikasi administrasi dan memenuhi syarat, dilanjutkan dengan verifikasi teknis yang dilakukan terhadap objek persetujuan dan subjek persetujuan dengan melakukan penelaahan peta dan pemeriksaan lapangan. Akses legal pengelolaan perhutanan sosial diberikan oleh Menteri dalam bentuk persetujuan atau penetapan. Setelah mendapatkan Surat Keputusan, masyarakat dapat secara legal mengelola hutan sesuai dengan hak dan kewajibannya.

   Ironisnya, program yang dibuat pemerintah sebagai solusi atas permasalahan lahan yang telah terjadi bertahun-tahun ini, justru menimbulkan permasalah- permasalahan baru. Hal yang perlu diketahui adalah meskipun peraturan tentang perhutanan sosial ini telah diterbitkan, penerapannya di masyarakat belum sepenuhnya paripurna. Pada tahun 2020 lalu, terjadi kriminalisasi atas petani hutan yang mengambil kayu di lahan yang diatur oleh peraturan Perhutanan Sosial.

   Kasus ini terjadi di Provinsi Jawa Timur, melibatkan seorang petani hutan bernama Pak Supon melawan Perum Perhutani pada tahun 2020. Pada saat itu, Pak Supon, seorang petani hutan yang memiliki hak yang diterimanya dari SK Perhutanan Sosial di daerah Bayu, Jawa Timur dituduh telah mengambil kayu secara melawan hukum. Tidak berhenti di situ, tuduhan tersebut justru melebar kepada tuduhan penebangan dan perusakan hutan. Hal ini terjadi seolah-olah akibat adanya ketidaksepahaman terhadap hukum yang berlaku sebagai akibat dari adanya konflik yang diciptakan oleh norma-norma yang ada. Dalam hal ini, terjadi konflik norma antara Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dengan SK Perhutanan Sosial sebagai hasil dari Program Perhutanan Sosial yang dicetuskan Pemerintah. Perum Perhutani merasa bahwa kayu yang diambil Pak Supon tersebut berada di wilayah pengelolaan Perhutani, namun di sisi lain Pak Supon juga memiliki hak, sebab dirinya terdaftar dalam SK Perhutanan Sosial tersebut. Akibat dari kejadian tersebut, Pak Supon dimeja hijaukan dengan menggunakan dasar UU P3H.[4] Kasus tersebut menjadi bukti bahwa implementasi lapangan terkait Perhutanan Sosial ini masih jauh dari kata sempurna.

   Konflik tenurial lain terjadi di Desa Pemandang, Kabupaten Rokan Hulu, yang melibatkan masyarakat Desa Pemandang dan LPHD. Konflik ini berawal perbedaan kepentingan antara masyarakat Desa Pemandang dan pihak LPHD terhadap kawasan hutan tersebut. Masyarakat memiliki kepentingan ekonomis dimana beberapa orang mengkapling lahan untuk dijual kepada pihak luar dan beberapa orang juga telah terlanjur melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan desa yang salah satunya dengan menanam kelapa sawit. Di sisi lain LPHD yang memiliki kepentingan untuk membantu mensejahterakan masyarakat tanpa mengubah fungsi kawasan hutan.

   Kawasan hutan tempat kejadian konflik tenurial antara masyarakat Desa Pemandang dengan LPHD merupakan daerah yang telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah dengan diberikannya izin pengelolaan hutan desa kepada masyarakat yang didasarkan pada Surat Keputusan yang dikeluarkan pada tahun 2017. Masyarakat beranggapan bahwa LPHD tidak cukup membantu masyarakat dalam mengelola kawasan hutan, hal ini disebabkan beberapa pengurus LPHD masih kurang kompak dalam melakukan tugas mereka. Konflik ini pada akhirnya diselesaikan dengan proses mediasi dimana yang menjadi pihak penengah adalah KPHP Rokan. Proses mediasi dilakukan dengan mendatangkan pihak LPHD dan mengumpulkan masyarakat yang memiliki lahan di kawasan hutan desa untuk berdiskusi mengenai kemauan mereka terkait penyelesaian konflik ini dengan LPHD. Mediasi ini menghasilkan kesepakatan yang berisi pemanfaatan hutan antara pihak masyarakat dan pihak LPHD.[5]

  Berdasarkan contoh penanganan konflik tenurial kawasan hutan yang terjadi di Desa Pemandang, apabila terdapat konflik tenurial kawasan hutan antara beberapa pihak yang seringkali terdapat petani sebagai salah satu pihak yang berkonflik dan sebagai contoh juga dilihat dari kasus Pak Supon, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. 84 Tahun 2015 tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan, sudah mengatur mengenai bagaimana tata cara penanganan konflik tersebut. Pada Pasal 4 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa Perseorangan, Badan Hukum dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat mengajukan permohonan penanganan konflik tenurial kawasan hutan kepada Menteri melalui Sekretariat yang membidangi penanganan pengaduan kasus lingkungan hidup dan kehutanan dan pengajuan ini dapat dilakukan secara langsung maupun online.

  Tindak lanjut dari pengajuan permohonan penanganan konflik tenurial kawasan hutan adalah akan diadakan pemeriksaan terkait objek konflik terkait dan hasil pemeriksaan ini akan disampaikan oleh Sekretariat kepada Direktur Jenderal. Direktur Jenderal selanjutnya akan membentuk Tim Independen Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan (Tim IPKTKH) untuk menangani objek konflik terkait, dimana proses penanganan konflik ini akan berujung pada pengusulan penyelesaian konflik berdasarkan analisa Tim IPKTKH terkait konflik terkait. Bentuk penyelesaian konflik memiliki tiga bentuk, yaitu mediasi seperti yang dilakukan antara masyarakat Desa Pemandang dengan LPHD, melalui perhutanan sosial dimana Tim IPKTKH akan melakukan fasilitasi konflik dan yang terakhir adalah proses penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan.

  Proses penanganan konflik melalui proses penegakan hukum mengikuti alur dari tuntutan dari pihak pelapor, namun seringkali pihak pelapor mengajukan tuntutan atas dasar pencurian yang dapat didasarkan dari Pasal 362 dan/atau 363 KUHP. Jika alur penanganan konflik melalui penegakan hukum, maka proses penyelesaiannya akan bergantung kepada proses di pengadilan, namun seyogyanya jika terdapat konflik tenurial kawasan hutan antara petani dengan pihak lain yang pertama perlu dilakukan adalah mediasi. Hal ini sejalan dengan prinsip hukum pidana, yaitu ultimum remedium atau cara terakhir untuk menyelesaikan suatu perkara.

   Hasil dari proses penanganan konflik terkait akan dipantau dan dievaluasi oleh Direktur Jenderal dengan memastikan para pihak melakukan prestasi masing-masing sesuai kesepakatan penyelesaian konflik tenurial kawasan hutan. Maka, berdasarkan Permen LHK No. 84 Tahun 2015, terkait kriminalisasi yang kerap terjadi terhadap para petani terkait konflik tenurial kawasan perhutanan sosial, seyogyanya diselesaikan dengan cara yang paling mendasar terlebih dahulu, yaitu pengajuan permohonan penanganan konflik terkait kepada Menteri. Hal ini perlu dilakukan dengan alasan bahwa terkait konflik tenurial sangat bergantung kepada batas-batas hutan yang harus jelas dan tegas, terlebih untuk perhutanan sosial. Rasanya tidak adil jika banyak petani dipidana karena kesalahpahaman terkait batas wilayah kawasan hutan yang dapat mereka garap sedangkan batas antara kawasan hutan tersebut tidak jelas. Kriminalisasi terhadap para petani perlu dihentikan, karena berkat mereka negara banyak menghasilkan anak-anak bangsa yang berprestasi dengan butir demi butir nasi.

Sumber:

  1. https://www.suara.com/bisnis/2017/11/01/144911/demi-pemerataan- ekonomi-jokowi-luncurkan-perhutanan- sosial?fb_comment_id=1715929478420221_1717003351646167
  2. https://walhijatim.org/2020/07/30/hentikan-kriminalisasi-petani-hutan- cabut-uu-p3h-jalankan-perhutanan-sosial-sepenuhnya/
  3. https://walhijatim.org/2020/07/30/hentikan-kriminalisasi-petani-hutan- cabut-uu-p3h-jalankan-perhutanan-sosial-sepenuhnya/
  4. https://jdih.menlhk.go.id/new2/home/portfolioDetails/84/2015/4#
  5. https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/3044/strategi-pemerintah-mendorong-ketahanan-pangan-dan-kesejahteraan-petani
  6. https://e-journals.unmul.ac.id/index.php/UJHT/article/download/11196/pdf

[1] “Strategi Pemerintah Mendorong Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani” Ekon.go.id, 03 Juni 2021 https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/3044/strategi-pemerintah-mendorong-ketahanan-pangan-dan-kesejahteraan-petani

[2] Redaksi “Sejarah Perhutanan Sosial, Antara Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Fungsi Kawasan Hutan” AgroIndonesia.co.id, 5 Desember 2017 https://agroindonesia.co.id/sejarah-perhutanan-sosial-antara-kesejahteraan-masyarakat-dan-kelestarian-fungsi-kawasan-hutan/

[3] Aditya Himawan “Semi Pemerataan Ekonomi, Jokowi Luncurkan Perhutanan Sosial” Suara.com, 1 November 2017 https://www.suara.com/bisnis/2017/11/01/144911/demi-pemerataan-ekonomi-jokowi-luncurkan-perhutanan-sosial?fb_comment_id=1715929478420221_1717003351646167

[4] Wahyu Eka “Hentikan Kriminalisasi Petani Hutan, Cabut UU P3H, Jalankan Perhutanan Sosial Sepenuhnya” Walhi Jawa Timur, 30 Juli 2020 https://walhijatim.org/2020/07/30/hentikan-kriminalisasi-petani-hutan-cabut-uu-p3h-jalankan-perhutanan-sosial-sepenuhnya/

[5] Titis Dwi Ayu, dkk “Resolusi Konflik Tenurial di Kawasan Hutan Desa Pemandang Kecamatan Rokan IV Koto Kabupaten Rokan Hulu” Vol-7 No. 2, Jurnal Kehutanan, Universitas Riau, 2023, https://e-journals.unmul.ac.id/index.php/UJHT/article/download/11196/pdf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *